Julian beranjak dari tempat duduknya saat mendengar langkah kaki dari arah depan. Ia menatap sejenak pada kakak iparnya yang tertidur mengenaskan di sofa bersamanya. Menghela nafas sesaat, ia merasa jika Alfian sudah berlebihan tanpa memberi kabar apapun.
"Bukan hal sulit untuk sekedar memberi kabar pada istrimu." Ujar Julian saat melihat Alfian mendekat dan mengelus lembut pipi istrinya.
Alfian menatap Julian datar. "Bukan urusanmu."
Julian memilih pergi tanpa kembali berucap apapun. Dia tak berminat bertengkar dengan kakaknya yang sedari dulu menunjukkan sikap permusuhan padanya itu.
"зая (zaya)." Ucap Alfian lembut seraya mengusap pipi istrinya yang nampak pucat.
Queena hanya bergumam dan bergerak pelan tanpa membuka sedikitpun matanya. Helaan nafas terdengar dari Alfian, ia menatap penuh penyesalan dan memangku Queena menuju kamarnya.
"Maaf." Bisik Alfian saat telah membaringkan Queena.
Bukan rencana Alfian kembali terlambat seperti saat ini. Namun ternyata kedatangannya menemui Luna membuatnya lupa waktu. Luna memang ditahan atas tuduhan yang dilayangkan Fabian tempo hari. Tapi, kepolisian mengatakan jika masih harus mendalami alasan Luna yang mungkin saja cukup kuat untuk menjadikan Luna sebagai tahanan dan menghuni jeruji besi seperti ayahnya.
Alfian mendesah pelan dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang. Dia melirik pada istrinya yang terlelap dan meringkuk pucat. Tangannya terulur mengelus puncak kepala istri tercintanya. Entah kenapa kepulangannya yang disambut istrinya yang tertidur di sofa menghadirkan rasa bersalah di hatinya. Sungguh, Alfian menyesal telah menemui Luna yang menjadi tahanan rumah itu. Tapi sejujurnya, ia hanya ingin mencari kepastian yang telah terjadi dari mulut wanita itu sendiri. Walau bagaimanapun, Luna adalah sosok sahabat yang selalu ada saat Alfian terpuruk atas kepergian ibunya juga saat keputusannya meninggalkan Aliefa dulu.
Sore tadi, meeting Alfian bahkan telah selesai tepat pukul lima sore. Bukan inginnya untuk menemui Luna seorang diri. Alfian tentu masih mengingat janjinya pada Queena untuk membawa serta istrinya itu saat menemui Luna. Namun, jika mengingat kondisi istrinya yang tengah hamil muda, Alfian berfikir jika menemui Luna adalah hal yang jelas harus dihindari Queena saat ini.
Alfian mendesah frustasi. Ia tak habis fikir jika sahabatnya itu bisa melakukan hal setega itu. Alfian jelas mengenal Luna, dia adalah sosok yang lembut seperti ibunya. Namun entah kenapa ia berani melakukan hal yang menghilangkan nyawa orang lain seperti itu. Terlepas dari alasan ia hanya menuruti perintah ayahnya, Saka. Namun, Alfian sangat terkejut jika ternyata Luna mampu menuruti titah ayahnya yang tidak masuk akal dan berujung merugikannya.
Alfian merenung. Teringat tatapan Luna saat menatapnya sore tadi.
Flashback
"Fian?" Ucapnya tampak terkejut.
Alfian tersenyum sendu melihat penampilan sahabatnya yang terlihat tidak baik-baik saja. "Bagaimana kabarmu?"
Luna menyeringai miris. "Kurasa kau cukup mengerti keadaanku."
"Maafkan aku yang baru mengunjungimu saat ini."
Luna menggeleng, pelupuk matanya bahkan sudah penuh dengan air mata yang sejak tadi ia tahan. "Selamat atas pernikahanmu." Tuturnya parau.
Alfian menunduk, ia tak ingin melihat sahabatnya itu rapuh dengan membahas pernikahannya saat ini.
"Apa kau sudah makan malam?"
Luna tersenyum sendu menatap Alfian. "Apa kau masih menganggapku sebagai sahabat?"
Alfian tersenyum hangat seraya mengangguk. "Tentu saja, kau selalu ada saat aku terpuruk dulu. Dan saat ini-." Alfian menjeda sebentar dan menatap iba pada Luna. "Aku akan mencoba sebisaku untuk ada saat kau membutuhkanku."
Luna tersenyum miris. Tangisnya yang ia tahan sejak kemarin pun tumpah. Ai mata terlihat menganak sungai di pipi. Tangisannya terdengar begitu pilu di rungu Alfian. "Maafkan aku." Ujarnya penuh sesal.
Alfian mengusap punggung Luna yang bergetar. "Kalimat itu bukan untukku." Ujar Alfian pelan.
Tangisan Luna semakin tergugu. Ia tau, jelas Luna mengerti maksud dari kalimat Alfian saat ini. "Aku tidak pernah mengira jika..., jika akan sefatal itu." Ungkapnya jujur dan terbata.
"Katakanlah maafmu pada keluarga Wiryatama, dan ... Istriku."
Luna mengangkat wajahnya yang tertunduk dan menatap penuh tanya pada Alfian.
Alfian tersenyum sendu dan mengalihkan pandangan pada dinding apartemen Luna dengan menatap kosong.
"Andrean." Ucapnya dan kembali menatap pada Luna. "Andrean adalah orang yang paling dicintai istriku." Imbuhnya. Entah kenapa mengatakan kalimat itu ada rasa nyeri pada hati Alfian.
Luna menatap Alfian iba, ia terkejut mendengar kalimat Alfian yang nyaris berbisik itu. Luna terisak pilu seakan menyiratkan sakit tak nyata seraya menatap pada Alfian, lelaki yang begitu ia cintai. Kenapa takdir membawanya hanya sebatas sahabat bagi Alfian. Kenapa Alfian harus menikah dengan wanita yang bahkan masih mencintai sosok yang telah tiada, dan sialnya karenanya.
"Tapi kau tidak perlu khawatir, saat ini dia milikku. Dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun." Tutur Alfian yakin.
Luna tersenyum hangat. Hatinya memang sakit, namun melihat binar bahagia yang terpancar dari netra sahabat sekaligus sosok yang begitu ia cintai itu membuatnya turut bahagia.
"Aku bersyukur kau bahagia Fian." Ungkap Luna jujur.
Alfian tersenyum. "Terima kasih, dan kuharap kau pun juga begitu. Akan ada sosok yang melindungi juga mencintaimu tak kalah hebatnya nanti."
Luna tertawa miris. Ia tak yakin dengan pernyataan Alfian. Saat ini ia tahanan dan mungkin sebentar lagi ia akan dinyatakan tersangka dan menghuni jeruji besi yang dingin seperti ayahnya itu. "Apa kau yakin? Aku bahkan narapidana. Kau jelas tau itu."
Alfian menggeleng. "Aku mengenalmu, sangat. Dan aku yakin, jauh di dasar hatimu. Kau perempuan yang penyayang dan lembut seperti ibuku. Bahkan nama kalian pun mirip. Xaviera adalah nama belakang kalian."
Luna tersenyum dan menatap pada paper bag yang dibawa Alfian sejak tadi. "Sepertinya ada yang membawakanku buah tangan."
Seakan teringat, Alfian menarik paper bag dari sisi kirinya dan mengeluarkan isinya ke atas meja persegi di depannya. "Kurasa belum terlambat merayakan hari spesialmu." Ucapnya seraya mengeluarkan satu kotak shusi.
Luna menutup mulutnya tak percaya, matanya memanas dan kembali menangis terharu. Ia benar-benar melupakan hari ulang tahunnya sendiri. "Kau mengingatnya?"
Alfian mengangguk seraya tersenyum. "Tentu."
Luna memeluk Alfian tanpa sadar dan membuat Alfian terkejut nyaris limbung karena tak siap. Biarlah untuk kali ini saja, Alfian tak akan melarang Luna.
Luna tertawa lirih "Ini hari ulang tahunku pertama kali tanpa kue ulang tahun. Alih-alih sepotong cake, entah kenapa kau memilih Shusi."
Alfian tertawa. "Aku yakin kau akan menghabiskannya. Bukankah kau sangat menyukai shusi?"
Luna merasa hatinya kembali menghangat. Ia menyesal telah jahat berniat memisahkan Alfian dari wanita yang begitu ia cintai. Tapi saat ini, ia merasa benar-benar telah mengikhlaskan Alfian untuk wanita yang saat ini menjadi istri dari sahabatnya itu. Hatinya memang sakit. Tapi biarlah, ia tak ingin kembali menjadi jahat hanya karena ke egoisannya.
"Sampaikan maafku pada istrimu untuk kejadian di cafe King dulu."
Alfian mengangguk. Ia tak mengetahui alasan tepatnya kenapa Luna berkata demikian. Namun satu hal yang dapat Alfian lihat dari Luna saat ini. Perempuan yang di hadapannya saat ini jelas telah berubah dan kembali seperti Luna sahabatnya yang dulu. Dan Alfian bersyukur untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...