"Uh bacot. Iya, ini gue udah mau otw!" Kenzie menjawab ucapan Esa di seberang telepon dengan nada kesal. Esa minta jemput sekaligus meminta Kenzie tiba di rumahnya tepat waktu. Kenzie jadi jengkel sendiri. Esa yang numpang, tapi malah anak itu yang cerewet.
Setelahnya, panggilan telepon langsung dimatikan sepihak oleh Kenzie tanpa menunggu balasan Esa lagi. Kenzie melempar ponselnya ke atas kasur.
"Rempong banget tuh anak" gumamnya sambil meraih botol parfum di meja. Kenzie menyemprotkan parfum ke baju seragamnya dengan asal, lalu menatap penampilannya sekali lagi di cermin. Seragam sekolahnya sudah rapi, namun rambutnya sedikit acak-acakan. Dengan cepat, Kenzie menyisir rambutnya dengan tangan sebelum keluar kamar.
"Ma, Kenzie berangkat ya!" Kenzie memanggil dari ruang tengah.
"Eh, gak sarapan dulu?" sahut mama Caca yang sedang duduk di sofa sambil menggendong menenangkan Safi yang rewel.
"Gak sempet, Ma. Esa minta jemput. Sarapan di rumah tante Rena aja" jawab Kenzie sambil sibuk mengecek isi tasnya, memastikan semua sudah lengkap.
"Hm... Hati-hati bawa motornya, Kak. Jangan ngebut-ngebut!" pesan Caca sambil memperhatikan Kenzie yang terlihat tergesa-gesa. Kenzie mengangguk sambil menghampiri adiknya yang sedang rewel di gendongan mamanya.
"Safi dari tadi nangis mulu. Kenapa sih, Ma?" Kenzie mendekat dan mencium pipi Safi yang basah karena air mata.
"Nggak tau, Zie. Dari tadi udah rewel gini. Dikasih susu gamau" jawab Caca sambil mengusap-usap punggung Safi. Tangis bayi itu terdengar semakin nyaring, membuat Kenzie merasa kasihan.
"Tumben banget rewel, Safi lagi nggak mood ya?" tanya Kenzie sambil mencoba mengambil Safi dari gendongan mamanya. Tapi, bukannya tenang, Safi malah menangis semakin keras. Kenzie langsung panik dan mengembalikan Safi ke mamanya.
"Ma, ini Safi badannya anget deh!" seru Kenzie sambil memegang kening adiknya. Caca terkejut dan buru-buru memeriksa suhu tubuh Safi dengan tangan.
"Loh, beneran agak anget ini badannya.. Tadi enggak loh"
"Beneran anget badannya, Ca?"tanya Kaffa yang baru saja turun dari lantai atas, sudah rapi dengan pakaian kerja. Ia langsung menghampiri begitu mendengar keributan.
"Iya, Mas. Tapi nggak yang demam tinggi banget" jawab Caca.
"Kamu siap-siap aja, Ca. Kalau perlu, kita bawa Safi ke rumah sakit" kata Kaffa. Caca menggeleng kecil sambil menenangkan Safi.
"Nggak usah dulu, Mas. Ini kayaknya badannya anget karena Safi mau tumbuh gigi deh. Lagipula, kan Mas Kaffa ada rapat penting pagi ini di kampus"
Kaffa mengerutkan dahi, namun akhirnya mengangguk.
"Tapi kalau sampai siang Safi masih demam, telepon aku. Kita langsung bawa ke rumah sakit."
Kenzie yang mendengarkan dari samping hanya bisa menghela napas sambil melirik Safi yang masih rewel. Kenzie mengelus pipi adiknya dan mencium Safi sebelum pergi.
"Ma, aku beneran berangkat ya. Nanti kalau ada apa-apa kabarin aku, oke?"
"Iya, Zie. Hati-hati di jalan!" sahut Caca sambil melambaikan tangan. Kenzie mencium tangan mamanya dan sekali lagi mencium pipi Safi sebelum akhirnya bergegas keluar rumah, berharap suasana di jalan tak terlalu macet.
Kenzie mengendarai motornya menuju rumah Esa dengan kecepatan yang cukup stabil. Di sepanjang jalan, pikirannya sedikit terpecah—antara khawatir soal adiknya, Esa yang bawel, dan persiapannya untuk tampil bersama band nanti malam. Sesampainya di rumah Esa, anak itu sudah berdiri di depan pagar, tampak kesal dengan tangan bersilang di dada.