"Hai, Ta hari ini tepat enam bulan lalu saat aku menepi dari hiruk-pikuk kota sekaligus menghindari pesta pernikahanmu dengan gadis itu."
Lelah memang, apalagi di setiap jalur yang kulangkahi terpatri senyum indahmu di potret undangan yang kau sodorkan seminggu sebelumnya. Enam bulan seperti merangkak, aroma parfummu yang kadang lewat, lagu favorit kita yang kadang terputar di kantin, buku pemberianmu yang kadang menyembul dari susunannya, dan kemerahan senja yang akhir-akhir ini selalu mampir di teras rumah.
Lucu memang, tatkala aku harus merelakanmu bersama sosok yang amat kukenali, seolah akulah yang paling bahagia. Hari ini aku akan kembali pergi, menepi dari riuh yang membusai mimpi. Tapi bukan untuk menghindari apapun, hanya ingin pergi seperti katamu dulu, 'Sesekali berliburlah, lihat alam semesta dan isinya. Temukan makna yang tak kau temukan saat sendiri.'
Meski terlalu naif jika aku bilang bahwa pergiku kali ini adalah liburan belaka. Pergi ini pun juga bagian dari menghindari luka-luka di hati yang beberapa waktu terakhir seolah ingin disuarakan. Aku bingung harus seperti apa membusainya. Makanya pergi adalah sesuatu yang boleh jadi bisa menyamarkan perih.
***
"Enam bulan, Ta. Enam bulan yang amat membahagiakan bagimu dan amat melelahkan bagiku."
Tatkala aku menyadari bahwa kau siap menjadi seorang ayah tahun depan. Atau saat aku mengerti kau bukan lagi pemuda yang duduk di teras rumahku menyaksikan jingga merekah di balik gedung. Atau saat aku memaklumi bahwa mimpi bahariku bersamamu justru dirayakan oleh perempuan lain.
Kenapa semua yang lekat denganmu harus berputar-putar juga di sekitarku? Kenapa seolah semesta suka sekali melihat aku ditertawakan ingatan indah di masa lalu?
Atau, memilih pindah kota adalah caramu menghindari semua kenangan yang pernah kita sulam bersama? Kau curang, Ta. Aku berkelahi dengan angan-angan tentangmu, sementara kamu telah sibuk menyiapkan rumah kecil bagi keluarga kalian, Ta.
—Bengkulu, 27 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Paling Disengaja
PoesíaAi, kamu mungkin bukan manusia sempurna. Aku tahu semua mata memandangmu sebagai sampah. Aku tahu sebenci apa kamu pada semua yang menganggapmu rendah. Tapi bagiku, kamu adalah sepotong senja yang Tuhan kirim lewat tirai jendela. Iris pekatmu menja...