Ego Siapa yang Kita Rawat?

8 0 0
                                    

"Ka, kamu berubah. Sungguh, separuh dirimu sudah tak kukenali lagi, kecuali tetes madu di senyummu. Aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang, tapi yang pasti aku kehilangan ruang kecil itu. Ruang tempat aku pulang dan menemukan cerita-cerita menyenangkan."

***

"Soal menunggu kau bisa mengandalkanku, Ka. Soal percaya kau juga tak harus kelimpungan. Hari ini genap empat tahun, kan? Aku percaya padamu.  Soal kau mau berkhianat atau tidak, itu urusanmu.

Tugasku menantimu pulang sembari merajut rindu, menenun sabar, menyulam percaya, dan menyirat lapang. Tapi kau harus tahu, Ka. Teman-temanku yang sekarang amat menyenangkan. Nanti setelah kau pulang, akan kuceritakan bagaimana mereka sering menjahiliku. Aku juga ingin dengar soal gadis bernetra hazel itu, Ka."

"Seindah apa suaranya sampai kau antusias sekali menceritakannya via telepon beberapa waktu lalu. Atau seindah apa puisinya yang katamu sudah terbit dan naik pajang di toko buku. Satu lagi, semenakjubkan apa lukisan ala-ala Van Gogh-nya sampai kau kirim pesan suara berdurasi 12 menit 35 detik untuk mengisahkannya."

"Lucu, Ka. Bagaimana mungkin kamu mengkhawatirkan aku? Maksudku, aku percaya seratus persen aku tidak akan jatuh cinta pada mereka, Ka. Logikanya bagaimana mungkin aku akan bawa perasaan pada mereka yang sedikit-sedikit menjahili. Soal pendakian setengah tahun lalu, kau tahu rasanya punya Abang dan abangmu menjagamu dengan baik? Ya seperti itulah."

***

"Ka, kenapa kau harus berbohong soal gadis bernetra hazel itu? Setelah selama ini aku menantimu pulang dengan perasaan yang sama, kau malah menyodorkan undangan atas namaku sebagai tamu. Kenapa tidak dari dulu saja, Ka? Kenapa harus sekarang? Setelah aku hampir mati merawat semua yang kupercayai?"

"Sudahlah, kau berlebihan. Siapa pemuda yang rajin mengantarmu pulang itu?  Bukankah dia sudah cukup untuk menggantikan kepergianku?"

"Apa maksudmu, Ka? Siapa yang sedang kau bawa di percakapan kita?"

"Jangan pura-pura bodoh. Bukankah setelah kepergianku kamu menemukan rumah baru."

"Tutup mulutmu! Kau salah paham. Kau hanya memahami apa yang terlihat mata. Kau tidak benar-benar memahami semua yang terjadi, Ka."

"Asal kau tahu, Ka. Aku tidak pernah menemukan rumah seteduh milikmu. Aku hanya berteduh tatkala hujan mengguyur ragaku. Aku hanya menepi tatkala kerumunan mendesakku. Aku hanya mencoba bertahan di tengah kerinduan yang setiap malam dipupuk khawatir.

"Sementara kau menuduhku berbuat curang. Kau lupa pada kelirumu dua tahun lalu yang kumaafkan dengan hati lapang. Lalu mengingat semua salahku yang terkubur dalam. Apakah sejak awal kita hanya sedang merawat ego dibalik embel-embel cinta?"

Patah Hati Paling DisengajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang