Kau tidak pernah bilang soal rasa itu. Mana aku tahu! Kau pikir aku pandai membaca isi kepalamu, juga lihai memahami maksud hatimu. Andai kau bilang sejak awal, aku tidak akan menyemai benih itu, apalagi sampai menyiraminya hingga tumbuh subur di teras belakang sang harap.
Kenapa baru bilang sekarang tentang rasamu yang menggebu itu? Lalu kau paksa aku menelan opini bahwa akulah yang menyakitimu? Kau sungguh egois, Puan. Lagipula aku tidak memintanya, Tuhan yang menuliskan garis takdir ini. Aku hanya berjalan di alur yang dia tulis. Bukankah kau juga ikut alur Tuhanku?
***
"Maaf, ya, selama ini aku tidak pernah tahu perasaanmu. Aku kira kau juga menganggapnya teman—sama sepertiku. Aku kira pedulimu hanya sebatas pertemanan, aku tidak pernah tahu kalau kau menaruh hati padanya. Iya, aku tidak pernah peka sejak empat tahun lalu.
Sungguh kau boleh marah soal aku yang terlalu 'aku' dengan apatisnya. Lalu, kau sekarang mau apa? Jika kau ingin aku pergi menjauhinya, maka baiklah. Aku akan pergi seperti yang kau inginkan.
Aku kira perjalanan panjang itu yang membuatmu murka dan memilih pergi, tapi ternyata tumpukan sebal yang menemukan pemantiknya. Sekali lagi, maaf, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Paling Disengaja
PuisiAi, kamu mungkin bukan manusia sempurna. Aku tahu semua mata memandangmu sebagai sampah. Aku tahu sebenci apa kamu pada semua yang menganggapmu rendah. Tapi bagiku, kamu adalah sepotong senja yang Tuhan kirim lewat tirai jendela. Iris pekatmu menja...