Kondisimu Mengkhawatirkan

3 0 0
                                    

"Semakin hari bibirmu semakin menghitam, Ai. Batukmu di beberapa kesempatan juga terdengar memilukan. Aku khawatir pada kesehatanmu. Puntung dan abu rokok di kamarmu sudah layak untuk disingkirkan jika kau masih ingin hidup lebih lama.

Tidakkah kau ingin bicara padaku tentang apa yang tidak baik-baik saja? Maksudku, jangan hanya kamu yang boleh dijadikan tempat berkeluh kesah, aku juga boleh, Ai. Jangan egois!"

***

Suara batuk kering yang menyiksa kuping terdengar di balkon kamar yang tempias hujan. Menyatu dengan riuh tetesan air yang menyentuh permukaan genteng. Bersahutan, berlomba siapa yang paling berisik.

"Ai, kamu mau minum?"

Seorang gadis tiba-tiba muncul dari pintu balkon, membawakan segelas air putih. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, tapi sebisa mungkin dia tersenyum. Langkahnya terhenti tatkala tatapan tajam membungkus tubuhnya.

"Ma—maaf aku tidak mengetuk pintu, Ai," ujarnya takut-takut. Dia menunduk, menghindari kontak mata dengan pemuda yang disapanya Ai.

Ai, begitu dia disapa, pemuda itu maju beberapa langkah dan meraih gelas berisi air putih. Menenggaknya secepat kilat tanpa menyisakannya. Tenggorokan yang semula kering akhirnya terasa lebih baik.

"Makasih udah bersihin kamar gue." Pemuda itu menyerahkan gelas kosong dan memutar tubuh. Berjalan ke arah pembatas balkon, melawan tempias hujan yang tidak juga reda. Rambut berantakannya layu, diterpa angin deras yang berembus.

Gadis itu masih terpaku di ambang pintu balkon. Menyaksikan punggung sang pemilik kamar. Punggung yang selama ini dijadikannya tempat berlindung. Lihatlah tubuh gagah itu, sekarang seumpama bunga yang hampir layu di taman gersang.

"Ai, apakah kamu baik-baik saja?" Suara pelan itu berkelahi dengan riuh hujan. Yang ditanya hanya mengangguk.

Gadis itu mengembuskan napas pelan dan akhirnya memutar tubuh. Tidak seharusnya dia berlama-lama di ruangan yang bukan miliknya ini. Aroma mint tercium kental setelah puntung dan abu rokok disingkirkan pagi tadi.

Belum genap langkah kaki gadis itu menjauh dari ambang pintu balkon, sang pemuda sudah mencekal pergelangan tangannya dan tanpa basa-basi langsung memeluk tubuh sang gadis. Yang dipeluk erat membulatkan mata sempurna, kaget.

Pelukan itu semakin erat tatkala petir menyambar pilu. Sang gadis masih termangu menyadari bahwa tubuhnya didekap begitu hangat sampai dia sangsi jika di luar sana masih hujan. Napasnya tercekat untuk beberapa saat.

"Jangan pernah tinggalin gue, Rain." Suara itu terdengar serak, seolah ada bongkahan batu yang menghalangi pita suaranya. Terdengar getar di kalimat yang barusan meluncur, apakah pemuda itu menangis?

Iya. Air mata mengucur deras dari netra hitam pekatnya. Tanpa aba-aba, tangisnya pecah di balik punggung sang gadis.

Merasakan basah di pundaknya yang kejatuhan air mata, gadis itu perlahan mengelus lembut punggung sang pemuda. Mencoba memberi ketegaran. Apa yang harus dia katakan?

Tidak ada. Gadis itu memilih diam. Mendengarkan sedu sedan pemuda yang disapanya Ai menyatu dengan rintik hujan yang semakin membuncah. Sisa aroma nikotin di baju sang pemuda menyelinap masuk ke rongga hidung sang gadis.

"Apakah kamu tidak punya keinginan untuk berhenti merokok, Ai?"

Patah Hati Paling DisengajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang