"Kamu nangis, kan? Kenapa bohong sama mereka? Kenapa tersenyum semringah seolah tidak terjadi apa-apa? Kenapa sok-sok jadi manusia kuat padahal kamu remuk redam?"
Aku hanya tidak ingin orang-orang prihatin padaku. Aku tidak ingin terlihat lemah dan berantakan. Aku sudah cukup memprihatinkan untuk diberi uluran tangan. Biarlah, biarlah tangis itu dihapus cahaya pagi di puncaknya. Biarlah sedu sedan itu tersamarkan oleh deru angin vegetasi khas pegunungan tinggi.
Tidak semua orang kubiarkan menatap air mata itu. Tidak semua mata kubiarkan menangkap rona paling menyedihkan itu. Biarlah ia luruh sendiri.
***
Pendakian kali ini melelahkan. Ah, kau tahu maksudnya, kan? Tidak ada puncak, maaf ya. Aku kira pendakian ini akan sangat menyenangkan, tapi ternyata hanya bagiku di separuh hari. Bagi beberapa yang lain, ini perjalanan yang menyebalkan. Aku tidak tahu apakah setelah hari ini, pertemanan kami akan terus berjalan baik-baik saja atau tidak. Ya, mungkin aku bukan teman perjalanan yang menyenangkan.
***
"Kamu tuh egois, Puan. Kamu ingin dapatkan semuanya tanpa ingin kehilangan salah satu diantaranya. Wajar jika kau banyak kehilangan di masa lalu. Caramu menghadapi semuanya keliru, Puan. Bukan seperti itu caranya berteman."
Iya, aku memang banyak kelirunya. Aku bukan teman yang baik. Aku manusia dengan salah-salahnya. Apa yang kamu harapkan dari sosok banyak celah sepertiku, hah? Sejak awal aku juga sudan bilang bahwa aku bukan manusia sempurna. Aku tidak memintamu percaya, kan?
***
Ai, katamu tidak semua orang sama. Kau berbohong, kan? Kalimat baik itu hanya untuk menghiburku kala gundah. Kau banyak dustanya, Ai. Empat tahun lalu aku berhenti percaya pada siapapun. Bahkan pada sesuatu yang menawariku rasa percaya itu sendiri. Lalu kau datang dan bilang semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan pulih seperti sedia kala. Omong kosong! Akhirnya tetap tidak ada yang mampu dipercaya.
*Kenapa harus di akhir-akhir? Maksudku, empat tahun lalu perpisahan itu juga terjadi di akhir kisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Paling Disengaja
PuisiAi, kamu mungkin bukan manusia sempurna. Aku tahu semua mata memandangmu sebagai sampah. Aku tahu sebenci apa kamu pada semua yang menganggapmu rendah. Tapi bagiku, kamu adalah sepotong senja yang Tuhan kirim lewat tirai jendela. Iris pekatmu menja...