Kisah ini rumit, Ibu. Dia adalah teman dekatku sejak lima tahun lalu. Pertemuan dengannya tidak istimewa. Sederhananya, disatukan dalam kelas yang sama membuat kami sering bertemu. Layaknya teman pada umumnya, tidak ada yang berbeda dengan kami. Yang sedikit membedakan mungkin karena aku sering membantunya dalam banyak hal. Oh, iya satu lagi, dia juga suka menjahiliku.
Kalau boleh sedikit bercerita, anggaplah aku menemaninya dari titik nol. Aku ingat betul saat keras kepalanya kalah oleh ocehan guru matematika. Saat langkahnya samar menuju ruang kelas yang mungkin tidak pernah diimpikannya.
Singkat cerita, dia berubah. Fisiknya tumbuh memesona. Dia mulai menjadi pusat perhatian saat menjadi anggota Marching Band sekolah. Lebih dari mencuri atensi penduduk sekolah, akhirnya dia memiliki pacar. Kurasa tidak perlu dijelaskan secara rinci bagaimana rupa gadis yang telah menaklukkan hatinya. Dia tampan dan memukau. Sudah pasti gadisnya akan sebanding. Jangan samakan dengan aku yang terkadang tak tahu malu, haha.
Meski sudah memiliki kekasih, dia masih suka meminta bantuanku. Wajar. Dia adalah teman sekelasku. Aku tidak masalah, selagi dia tidak mendikte hidupku, aku baik-baik saja. Jangan tanya seberapa sering dia merepotkanku, tak terhitung. Tapi selagi aku bisa, sekali lagi aku tegaskan, tidak masalah. Toh yang kubantu bukan hanya dia.
Hari itu, meski sudah memiliki kekasih, dia tidak berubah. Tetap menjadi laki-laki menyebalkan tapi menyenangkan di mataku. Dia menjadi bagian dari hidupku yang tidak pernah kuanggap serius. Dan mungkin dia pun sama. Menganggapku sebagai teman biasa.
Waktu berjalan. Akhirnya kami tiba di bangku kelas 12. Dia semakin memesona dengan tubuh tingginya. Semakin banyak juga yang menaruh hati padanya. Dan parahnya, dia menjadi sosok playboy yang sesuka hati gonta-ganti kekasih. Terserah, itu bukan urusanku. Itu sempurna menjadi haknya. Selama dia tidak merugikanku, tidak masalah.
Dia memang tidak pandai di bidang akademik, tapi di luar itu, bagiku dia luar biasa. Dia belajar skateboard dan pandai memainkannya. Dia juga jago badminton. Cocok dengan postur tubuhnya yang semampai. Dan bagian yang paling aku suka adalah, dia mulai pandai bermain alat musik. Gitar lebih tepatnya. Bagiku, laki-laki yang jago bergitar itu benar-benar istimewa. Mungkin karena cinta pertamaku adalah calon musisi, haha.
Sebelum kami lulus, ada masalah kecil yang datang. Membuat aku dan dia berjarak dalam tenggat waktu yang tidak sebentar. Saat itu aku benar-benar marah padanya. Ucapannya yang tak terkontrol membuatku murka, dan mungkin perbuatanku yang tak menyenangkan membuatnya hilang arah. Lebih tepatnya, egois menguasai kami saat itu. Tidak enak sekali rasanya berjauh-jauhan dengan seseorang yang dulu begitu dekat. Apalagi saat dia tidak meminta bantuanku lagi. Aneh saja rasanya.
Ah, tapi semua itu bisa kuatasi setelah duduk di bangku kuliah. Singkat cerita, kami baikan. Senang rasanya bisa menyapa dia dengan perasaan lega. Dan baiknya, dia juga sudah lupa dengan kejadian itu. Aku tahu dia bukan tipe pendendam. Meski harus kuakui, hubungan kami tidak terlalu dekat karena kami berbeda jurusan. Intensitas pertemuan tidak sesering dulu. Aku sungguh memaklumi hal itu.
Aku memberinya hadiah ulang tahun untuk memulai kembali hubungan baik setelah perseteruan yang lumayan panjang di masa lalu. Dia semakin good looking dan tetap ramah padaku. Itu kabar baiknya.
Dan sekarang, tibalah saat aku harus mengatakan kabar buruknya. Bertahun-tahun menjadi temannya membuat aku mulai merasakan sesuatu. Padahal selama ini tidak ada perasaan semacam ini. Mau dia pacaran dan gonta-ganti pasangan sebulan sekali, aku tidak peduli. Toh aku bukan siapa-siapanya. Tapi sekarang, keadaan berbanding terbalik. Aku tidak suka melihatnya bersama perempuan lain yang bukan aku. Aku berharap senyum manisnya hanya untukku.
Aku tidak diam begitu saja. Logika dalam kepalaku berontak mati-matian. Bilang jika aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Menegaskan bahwa tidak ada perasaan apapun kecuali perasaan sayang sebagai seorang teman. Aku tidak mungkin jatuh hati padanya, aku hanya menganggapnya teman. Hanya teman, tidak lebih dan tidak kurang. Itu adalah pembelaan paling masuk akal.
Sampai akhirnya waktu membawaku pada titik kesadaran. Sekuat apapun aku menutupi perasaan kecil itu, lambat laun dia muncul sendiri. Sehebat apapun aku menyembunyikan harap itu, semesta telah membawanya melintasi alam kebohonganku. Kabar buruknya, aku telah jatuh cinta pada laki-laki yang selama ini kuanggap teman biasa.
*Dia masih hidup sampai sekarang. Bedanya, dia tidak lagi hidup di hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Paling Disengaja
PoesieAi, kamu mungkin bukan manusia sempurna. Aku tahu semua mata memandangmu sebagai sampah. Aku tahu sebenci apa kamu pada semua yang menganggapmu rendah. Tapi bagiku, kamu adalah sepotong senja yang Tuhan kirim lewat tirai jendela. Iris pekatmu menja...