Saat tiba di rumah sakit, Aiden segera membawa Robi ke UGD. Dengan cepat para tenaga medis langsung memeriksa Robi, dan membiarkan Aiden menunggu di luar.
Aiden pun mendudukkan bokongnya di ruang tunggu. Saat baru saja ia mendudukkan bokongnya, tiba-tiba orangtua Cheryl dan Robi, tak lupa beberapa anggota teman lainnya menyusul.
"Gimana keadaan anak saya?" tanya Gea pada Aiden.
"Dia masih diperiksa tante," jawab Aiden dengan pelan.
"Anak kurang ajar! Udah bikin malu, awas aja kalo dia bangun!" terdengar suara makian dari mulut Gea oleh mereka yang ada disana.
Aiden menoleh ke arah teman-temannya dan segera bergabung dengan mereka, ia dapat melihat raut wajah khawatir dari mereka semua. Kesekian kalinya mereka berada di posisi seperti ini, dan mereka masih belum terbiasa.
"Gue antara mau seneng sama sedih ini," celetuk Echi yang terdengar oleh semuanya.
"Kalian!" ucapan Gea menggema di ruangan tersebut.
Semuanya menoleh ke arah Gea, mereka dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada mereka setelah ini. Sudah pasti Gea akan menyalahkan mereka atas kejadian hari, mereka sudah sangat hafal watak ibu dari temannya itu.
"Ini semua ulah kalian pasti!" tuduhnya kepada mereka.
"Sesuai dugaan," gumam Aiden yang dapat di dengar oleh semuanya.
"Kerjaan kalian dari dulu gak pernah selesai ya? Cuci otak anak saya!" ujarnya lagi menunjuk wajah Aiden dengan marah.
"Bukannya tante sama yang lain ya yang udah nyuci otak Robi?" bukan Aiden yang menjawab, melainkan Echi.
Di dalam ruangan, Robi tiba-tiba sadar dari keadaan pingsannya. Matanya perlahan-lahan terbuka, dan ia merasakan kebingungan dan keheranan melanda dirinya. Namun, bukannya merasa panik, Robi justru merasa damai dan tenang.
Saat Robi membuka mata sepenuhnya, tiba-tiba banyak memori yang terlintas di kepalanya. Seakan ia sedang mengalami kejadian tersebut, Robi memejamkan kembali matanya saat mendengar suara familiar yang sudah lama tak ia dengar.
"Sayang, coba fotoin aku disana."
"Ih kok ngeblur sih!"
"Liat kesini sayang, biar aku fotoin kamu."
"Sayang kenapa ya badan aku menggigil mulu,"
"Makasih sayang,"
"Ini gak perlu, aku udah beli sama temen-temen aku kemarin."
Robi meneteskan air matanya, suara indah yang sering ia dengar tiap malam sebelum tidur memang suara Florine. Namun ia selalu menyangkalnya, dan menganggap nya adalah halusinasi dan mimpinya.
Ketika matanya perlahan-lahan terbuka, memori tentang Florine mulai melintas di kepalanya, membawa kembali semua yang telah terjadi bersama gadis itu.
Florine, dengan senyumnya yang memikat dan kehangatan dalam tatapannya, menjadi pusat dari memori yang mengalir begitu saja. Robi teringat akan setiap percakapan, tawa, dan tangisan yang mereka bagikan bersama. Mereka telah mengalami begitu banyak hal bersama-sama, dari kebahagiaan hingga kesedihan.
Di ruang rawat yang sunyi itu, Robi merenungkan semua momen indah dan sulit yang telah mereka lalui bersama Florine. Meskipun ada rintangan dan perpisahan yang menyakitkan, Robi merasa bersyukur atas kehadiran Florine dalam hidupnya. Gadis itu telah memberikan warna dan makna yang tak tergantikan dalam perjalanan hidupnya.
Dengan setiap memori yang mengalir, Robi merasakan campuran antara kebahagiaan dan nostalgia. Florine tetap menjadi bagian yang tak terhapuskan dalam hatinya, sebuah kenangan yang akan selalu dikenang dengan penuh cinta dan rasa syukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLORINE
Teen Fiction"Jika menghilang bisa mengembalikan memorimu tentangku, maka biarkan aku melakukannya" ~Alicya Florine~