Dua

9.1K 732 180
                                    

"Manila."

"Mario."

Keduanya melepas jabatan tangannya seusai memperkenalkan diri atas perintah Bu Ratih.

Dengan kedua tangan ke belakang, Bu Ratih berkata, "hormat, dan berdiri di sini sampai bel istirahat berbunyi, setelah itu boleh kalian kembali ke kelas masing-masing."

Baru membalik badan dan hendak melangkah, Bu Ratih teringat sesuatu dan kembali menatap keduanya.

"Saat saya pergi, saya tidak ingin ada keributan atau hal-hal yang tidak di-inginkan terjadi karena ulah kalian." Lalu menoleh ke arah Rio. "Saya tidak ingin ada hal yang terjadi di luar dugaan."

Rio yang menatap kepergian Bu Ratih itu sama sekali tidak tersinggung ketika baru saja guru BK-nya itu menyindirnya dengan keras.

Nasib buruk menghabiskan satu season drama Thailand. Akibatnya membuat Manila terlambat ke sekolah dan membuatnya dihukum seperti ini.

Matahari pagi menyengat mengenai tubuh kedua insan tersebut. Hanya bermodal tenaga untuk bisa berdiri selama 1 jam lebih, Manila tidak yakin akan kuat. Seliur-seliur angin
menerpa tubuh mereka, membuat keheningan di sekolah semakin menambah. Tiada yang memulai cakap di antara mereka, keduanya sama-sama terpaku pada bendera yang mereka hormati sedang berkibar pelan.

Beberapa murid yang bulak-balik koridor—entah dari toilet atau koperasi itu menatap jelas kejadian ini. Rio tidak menghiraukan keadaan yang sedang memperhatikannya, ia hanya fokus menghormati bendera yang berkibar. Berbeda, gadis di sebelahnya itu malah cemas dan panik, mau di taruh mana wajah baik-baiknya ini, jika anak satu sekolah tahu kejadian ini.

Hingga satu jam berlalu, bel istirahat terdengar berbunyi nyaring di telinga. Semua murid keluar dari kelas bergeroyok menuju kantin.

Rio menurunkan tangannya yang sedang hormat, dengan keringat bercucuran di tubuhnya ia langsung menuju tempat yang sedari tadi ada di pikirannya, kantin.

Dengan wajah yang sudah bercucuran keringat, ia melenggang pergi tanpa sengaja menyenggol bahu Manila dengan keras, tak sengaja.

Setelah kembali ke kelas dan berisitirahat di kursinya, entah sejak kapan kelasnya menjadi begitu hening walau di dalamnya terdapat banyak teman sekelasnya. Raya, teman semeja Manila datang dengan membawa berbagai macam makanan ringan.

"Mau?" Raya menepuk bahu Manila, menawarkan makanan ringannya.

Manila menggeleng. "Nggak nafsu, Ray."

Di sela mengunyah makanannya Raya berkata, "omong-omong, lo dicariin Marko tadi.

Manila menaikkan sebelah alisnya. "Marko?"

"Iya. Dia nungguin lo di ruang osis. Samperin sana."

Manila mengangguk paham, lalu matanya beralih kepada teman sekelasnya yang sedang sibuk di meja masing-masing.

"Mereka pada ngapain? Ada tugas?" Manila masih memandang ke arah teman sekelasnya.

Raya ikut menoleh ke arah yang dilihat Manila lantas mengangguk. "Oh... mereka lagi pada ngerjain tugas minggu lalu, La. Untung kita udah ngumpulin minggu kemarin."

"Emang kenapa?" Manila menoleh ke arah Raya, dibarengi Raya yang menoleh ke arahnya.

"Bu Desi kasih hukuman, yang nggak ngumpulin tugas minggu lalu, hari ini wajib di kerjain plus tugas tambahan dari bab satu samep empat. Kebayang banyaknya, kan?" Raya tersenyum lega. "Apalagi, yang ngumpulin tugas pas minggu lalu kan cuma gue doang sama lo. Jadi, ya anak sekelas baru pada ngerjain dari jam kedua tadi. Tapi, gara-gara itu gue jadi ke kantin sendirian barusan."

Ada sebuah keuntungan mengumpulkan tugas rumah tepat waktu.

***

CEKLEK

Suara pintu ruang OSIS dibuka oleh seseorang. Gadis itu seketika merinding ketika menginjakkan kakinya di dalam ruang sepi itu. Merinding? Ya, perbedaan suhu antara di luar dan di dalam membuat tubuh gadis itu sedikit kaget.

Dilihatnya seorang siswa duduk membelakangi dirinya sambil memainkan laptopnya yang terletak di atas meja. Siswa berseragam sama serta badge kelas 11 yang berada di sebelah lengan bajunya membuat Manila yakin bahwa itu Marko.

"Eh?" Suara tegas milik siswa itu menggema di ruangan yang sepi itu ketika sudah melihat keberadaan Manila. "Gue kira lo nggak dateng." Marko lantas berdiri.

"Lo ngapain deh manggil, gue?" Manila terheran. "Harus banget diomongin ketemu gini? Nggak bisa lewat chat?"

Marko berjalan menghampiri rak-rak berkas, diikuti Manila yang langsung menempati salah satu kursi.

"Ya nggak bisa lah, La, ini mesti diomongin secara baik-baik dan mesti langsung. Nggak mungkin gue ngasih tahu pemberitahuan ini lewat chat. Nggak resmi."

Manila tidak mendengar perkataan Marko selanjutnya, pandangannya fokus pada ponsel yang sedang ia mainkan.

"Dapet," gumam Marko sambil memegang sebuah amplop putih, lantas menempati kursi di seberang Manila.

Marko di hadapannya, Manila langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku baju seragamnya.

"Apa?" Manila memastikan Marko yang sepertinya sulit untuk mengatakan sesuatu padanya.

"Nih." Marko memberi amplop tersebut lalu diterima oleh Manila. Manila menatap amplop putih tersebut, ada perasaan tak baik menghampirinya.

Lantas, Manila langsung kembali menatap Marko dengan biasa.

"Gue bukannya bermaksud nggak adil sama lo, La. Tapi ini permintaan sekretaris melihat dari daftar hadir yang ada, bahkan memang seharusnya lo dapet itu. Gue takut, setelah lo dapet itu lo malah ngundurin diri dari organisasi."

Manila tersenyum santai. "Nggak perlu nggak enak, lo udah cukup baik jadi ketos. Lo emang seharusnya gini, jadi ketua OSIS yang adil. Dengan dapet ini—" Manila mengacungkan amplop itu di hadapan Marko. "Lo bikin gue interopeksi diri, lo bikin gue semangat di organisasi. Inget, apa yang kita lakuin di organisasi itu gak semuanya akan berjalan lurus dan benar, pasti ada sebuah kesalahan yang nantinya jadi bekal buat kita."

Marko tersenyum tenang. "Thanks deh, lo bisa ngertiin. Gue takutnya lo malah ngira gue ketos yang gak adil, lagi."

Yap, ketua OSIS mana sih yang mau anggotanya mendapat Surat Peringatan atau yang sering kita dengar dengan SP.

Seperti yang dialami Manila, dengan berat hati Marko harus menyerahkan SP 1 untuk rekan organisasinya itu.

"Santai aja, jangan bawa-bawa masalah pribadi gini di organisasi. Nggak perlu ngerasa nggak enak, oke?"

Sungguh Marko tersenyum lega mendengarnya. Manila benar-benar paham dan begitu menerimanya.

Semua pasti tau ini chapter kedua, jangan cuma tinggalkan kenangan aja Plis, tinggalkan vomment juga, hope you like it.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang