Empatpuluh empat.

3.4K 252 71
                                    

44.

Macika keluar dari kamarnya untuk sarapan dan berangkat sekolah.

Atribut dan seragam yang rapih sudah melekat cantik di tubuhnya yang mungil itu. Rambutnya yang pendek itu dijepit manja dengan jepitan berwarna abu. Ransel berwarna ungu-nya juga sudah menempel cantik di punggungnya.

"Hai, Macika!" sapa Darian yang sudah duduk di meja makan.

Di situ juga ada Lana yang sedang menyiapkan sarapan untuk Darian, Macika, Revan, dan harusnya juga untuk Rio.

"Duduk, sayang." Darian tersenyum pada Macika.

Macika membalas senyumannya dengan tersenyum kecil.

Ia mengambil tempat duduk di seberang Darian dan menaruh tasnya di kursi sebelah.

"Nih, sayang." Lana memberinya sepiring roti dan segelas susu putih.

"Makasih, Tan," Macika membalas dengan tersenyum tipis.

"Revan mana, sayang?" tanya Darian pada Lana.

Lana melirik ke arah jam dinding. "Masih jam segini. Mungkin dia baru mandi."

Mereka bertiga pun menyantap sarapan dengan tenang tanpa ada percakapan. Ya, Darian sendiri memang mengajarkan seluruh keluarganya untuk tidak berbicara saat sedang makan.

Macika baru melahap setengah rotinya lalu menyesap segelas susunya.

Tag.

Ia menaruh pelan gelas kaca itu di atas meja.

"Cik, mau bareng Om?" Tawar Darian sambil menikmati nasi gorengnya.

Macika menggeleng sopan. "Nggak deh, Om. Aku bareng sama pak supir aja."

"Kenapa? Kan sekalian aja kamu diantar sama Om?" Lana menimpali.

Macika tetap menggeleng. "Nggak apa-apa, Tan."

"Ya sudah."

Macika terdiam dan memikirkan soal surat yang ia dapat dari Rio untuk kedua orangtuanya. Ingin sekali ia memberitahu soal itu sekarang.

Tapi ada sebuah hal yang ia takutkan. Ia takut isi surat dari Rio itu sangat buruk dan akan mengganggu kondisi kesehatan Lana yang jelas-jelas kemarin sempat pingsan akan kepergian Rio.

"Om, aku duluan, ya." Ia berdiri dari kursinya lalu menggendong tasnya.

Darian mengangguk. "Masih nggak mau bareng Om?"

"Nggak, Om, aku bisa sendiri."

Macika hanya terdiam sambil berdiri di situ. Langkahnya terasa berat sebelum ia memberitahu Lana dan Darian soal surat dari Rio.

Kak Rio bisa kapan aja pergi dan bisa kapan aja dia kembali. Kalo sampai dia kembali dan aku yang megang surat itu belum aku kasih ke Tante Lana sama Om Darian, bisa-bisa Kak Rio kecewa sama aku.

"Kenapa, Cik?" Suara Lana menyentakkan Macika.

Macika menoleh. "Tan, aku mau bicara."

"Bicara apa?" Lana menatapnya biasa.

"Soal—"

"Revan, kenapa kamu baru rapih jam segini?" Perhatian Lana teralih ke Revan yang baru menghampiri dan duduk di kursi meja makan.

Revan yang baru datang itu langsung menyantap makanan yang berada di piring untuknya. Wajahnya terlihat masam, lebih tepatnya selalu masam.

"Revan, Mama tanya ke kamu, kenapa kamu baru rapih?" Lana mempertegas.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang