Lima puluh empat

2.7K 205 35
                                    

Seminggu sudah berlalu dan hari ini adalah hari pertama ujian tengah semester.


Semua murid pastinya akan menyibukkan diri masing-masing untuk menghadapi ujian.

Termasuk Rio, laki-laki itu sudah kembali ketika masalah keluarganya sudah terselesaikan di Madiun. Rio telah menjelaskan pada Lana bahwa ibu kedua yang Rio maksud di surat tersebut merupakan Bik Surti, bukan selingkuhan ayahnya. Hingga di saat itu juga, Rio meminta kepada ayahnya untuk tidak menyakiti perasaan Lana lagi.

Bunyi bel masuk terdengar keras di seluruh penjuru sekolah. Seluruh siswa-siswi langsung berbondong-bondong masuk ke kelas—karena salah satu syarat untuk mengikuti ujian sendiri adalah tidak datang telat.

Saat ia buru-buru naik ke atas tangga, tak sengaja ia berpapasan dengan Siska yang hendak menuruni tangga. Siska, gadis kelas 10 yang pernah bertemu dengannya beberapa waktu lalu.

Siska menatap Ican dengan ragu. Gadis itu benar-benar terlihat takut saat menatap Ican lantas mempercepat langkahnya untuk pergi.

Sedangkan Ican, pandangannya terus fokus mengikuti ke mana gadis itu pergi—-bahkan tak teralihkan sedikit pun.

Sepertinya Ican tertarik dengan gadis itu. Wajar saja, Siska memang termasuk siswi di sekolah ini yang berbeda. Ia masih terlihat kekanak-kanakan dengan wajahnya yang polos. Tak neko-neko, gadis itu bersekolah dengan tampilan sewajarnya saja—hanya saja ia selalu mengepang rambutnya dengan unik dengan ditambah hiasan jepitan cantik.

"Muhammad Ichsanuddin!"

****

Kegiatan ujian tengah semester ganjil ini berjalan dengan lancar. Termasuk di kelas Manila—yang suasananya sangat kondusif karena guru pengawas merupakan guru Matematika yang mengajar kelas 12—Pak Sima.

Manila dengan santai mengerjakan mata pelajaran pada jam ini—-yakni Bahasa Indonesia.

Sedangkan di seberang barisan sana—-terdengar bisik-bisik memanggil namanya-—tapi Manila tetap cuek karena dia tidak mau berurusan dengan Pak Sima.

Tapi ada sebuah hal yang membuat Manila kepikiran lagi di sela-sela ujiannya, Raya.

****

4 jam berlalu, kini saatnya jam istirahat.

Seperti biasa, siapa yang duluan selesai mengerjakan, tentu dia boleh keluar kelas.

15 menit sebelum bel istirahat berbunyi, Emir sudah berdiri di depan pintu kelas 11 IPA 2.

Sedangkan apesnya di kelas 11 IPA 2 ini—yang diawasi Pak Sima—semua rata dan tidak boleh keluar kelas sebelum bel istirahat.

Raya menghela napas panjang ketika akhirnya ujian yang diawasi Pak Sima telah berakhir.

Ia lantas melangkahkan kakinya untuk keluar kelas—nampaklah Emir yang sudah berdiri kokoh di situ.

"Heh!"

Raya langsung memberikan tatapan tak enak kepada Emir.

"Durasi, woi! Durasi! Tau waktu nggak, sih?!" Emir menepuk jam tangannya dengan jari telunjuknya perlahan.

Raya menatap cowok itu heran. "Durasi apanya sih?"

"Gue nungguin lo itu lama banget. Nungguin lo bisa bikin jamuran lama-lama."

"Lagipula siapa yang minta ditungguin Kakak, sih?"

Emir terdiam. Ia baru paham, iya juga ya. Tak mau malu, ia tetap menyalahkan Raya dalam kondisi ini.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang