Enam puluh satu.

1.9K 171 74
                                    

Manila melangkahkan kakinya memasuki rumahnya yang dibilang cukup besar yang hanya diisi oleh dirinya dan mamanya itu.

Ia merasa sedikit tenang sore ini, setelah melewati adegan tangis menangis mendengar Rio mengatakan sebuah fakta yang memang belum diketahuinya.

Kakinya berjalan ke arah dapur, di mana terlihat ada Bik Surti yang sedang mencuci piring dalam keadaan habis Maghrib begini.

"Tumben nyuci piring jam segini, Bik?" Manila menghampiri Bik Surti yang sedang fokus membilas piring-piring yang dipenuhi busa.

"Iya Non. Tadi teh, Bik Surti niatnya tidak ka dieu (ke sini) dulu. Eh dapet kabar Ibu Nyonya pergi teh, ya sudah atuh Bik Surti kebut langsung ka dieu. Taunya sampe sini teh, masih banyak piring kotor sama sekalian beberes rumah."

"Mama udah pergi kerja lagi, Bik?" Manila bertanya dengan nada sedikit kecewa.

"Iya, Non. Si Ibu Nyonya teh menitipkan Non ke Bibik," jelas Bik Surti.

Tangan gadis itu meraih sebotol air putih dari kulkas yang dibukanya. Ia langsung meneguk habis sebotol air berukuran kecil itu.

"Non teh tumben pulang jam segini?" Tanya Bik Surti yang kembali fokus pada rutinitasnya.

"Tadi ada urusan sebentar," jawab Manila lalu menaruh bekas botol minumnya di atas kulkas. "Sama Kak Rio."

Bik Surti langsung tertegun mendengar majikan mudanya ini menyebutkan nama mantan majikan mudanya yang lain.

"Manila gak kenapa-kenapa kok, Bik. Gak ada urusan penting." Seperti memahami pikiran Bik Surti, Manila langsung berkata seperti itu sambil menyandarkan dirinya pada tembok.

"Non, Bibik teh mau bicara." Bik Surti menatap Manila ragu. "Maaf, Bibik teh sudah membohongi Non. Bibik sudah...." Ia tak kuat melanjutkannya.

"Manila udah tau, Bik. Bibik kasih tau semuanya ke Kak Rio, kan?" Manila menatap Bik Surti santai. Rasanya untuk apa juga ia memarahi asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai ibu kedua.

"Maaf atuh, Non, Bibik teh benar-benar ngerasa bersalah." Bik Surti memberikan tatapan rasa bersalahnya pada Manila. Ia benar-benar tidak enak hati.

"Gak apa-apa, Bik. Manila juga ngerti kenapa Bibik lakuin itu," ia menghela napas panjang dulu, "yang penting, sekarang hubungan La sama Kak Rio udah baik-baik aja, kan?"

"Syukur atuh Non, kalau begitu."

Manila tersenyum. "Manila bersih-bersih dulu ya, Bik." Ia beranjak ke kamarnya yang ada di lantai dua.

Sesampainya di kamar, tiba-tiba​ saja ponselnya yang di-mode vibrate itu bergetar kuat karena mendapat panggilan masuk dari seseorang.

Tanpa melihat lagi siapa yang meneleponnya, ia menggeser tombol hijau di layar lalu menempelkan ponselnya di telinga.

"Halo?"

"Manila?"

"Tommy?" Ia mengernyitkan dahinya.

"Iya."

"Kenapa?" Manila menanggapinya santai. Tidak cuek maupun agresif.

"Tomorrow is the last day, right?"

"Iya, kenapa?"

"Refreshing?"

"Oke. Mau ke mana?"

"Ada, gue mau nunjukin sesuatu."

"Sesuatu apa?"

"U never imagine."

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang