Dua puluh tujuh.

3.7K 246 43
                                    

Manila sudah membuat Raya kecewa.

Kurang lebih itu lah yang menjadi beban pikiran Manila mengetahui Raya yang begitu marah padanya. Harusnya ia menceritakan ini juga ke Raya, tapi semuanya sudah terlambat.

Manila jadi tidak punya rasa semangat apa-apa untuk beraktivitas di luar.

Seperti sekarang ini, sepulang sekolah Manila langsung pulang ke rumahnya dan rebahan di sofa. Rebahan memang paling juara.

"Hai Nil," Manila bangkit dari tidurnya saat mendengar ada suara mamanya.

Dan benar saja, mamanya tengah berdiri di dekat sofa. Wiwin terlihat mengambil tempat untuk duduk di sebelah Manila lalu memeluknya.

"Mama kapan pulang?" Tanya Manila setelah melepas pelukannya.

"Tadi pagi, pas kamu sekolah," Wiwin menjawab sambil tersenyum.

Manila tersenyum. "Mama itu ya, selalu pergi tanpa pamit pulang tanpa kabar. Sengaja atau gimana?"

Wiwin meraih Manila agar lebih dekat dengannya. "Maaf ya Nil, waktu itu Mama buru-buru banget jadi Mama nggak bisa pamit dulu sama kamu."

"Mama nggak ada yang sakit kan sekarang?"

Wiwin tersenyum mendengar Manila yang terdengar khawatir. "Nggak dong."

Manila bernapas lega mengetahui keadaan mamanya baik-baik saja. Ia sangat khawatir jika mamanya akan kelelahan bekerja.

"Omong-omong..." Wiwin menyelipkan rambut Manila ke daun telinganya. "Apa ada sesuatu yang mau kamu ceritain?"

Manila terdiam sebentar dan sedikit menjauhkan tubuhnya dari mamanya itu.

Wiwin kembali meraih tangan Manila dan berkata, "Manila..."

Manila memeluk pinggang mamanya dan menatap ke depan dengan kosong. "Mama mau nanya apa?"

Wiwin mengelus rambut Manila dengan lembut. "Sekolah kamu baik?"

"Baik, nggak pernah jalan gedungnya masih di situ."

Wiwin tertawa kecil. "Bukan itu, tugas sekolah kamu gimana?"

"Nggak ada yang spesial nggak ada yang buruk, datar aja. Kalo nggak bisa, tinggal salin punya orang."

Jawaban Manila sangatlah polos, betul-betul berbeda saat ia berhadapan dengan Rio.

"Mama akan bertanya hal serius, jadi jawab dengan jujur ya."

Manila hanya diam.

Sambil mengusap rambut Manila, Wiwin berkata, "siapa yang bikin luka lebam di wajah kamu?"

Manila tertegun mendengarnya. Luka yang mana yang mamanya maksud?

"Nil?" Wiwin melepas pelukan Manila dan menatap wajah putrinya itu dari dekat. "Jujur sama Mama."

Manila mengalihkan matanya dan duduk dengan tegang.

"Manila?" Wiwin menatapnya khawatir. "Luka lebam di sebelah pipi kamu, siapa yang lakuin itu ke kamu?"

Manila masih diam.

"Jawab Mama..."

Baiklah, Manila menoleh. Luka yang mamanya tanya adalah luka yang dibuat oleh Marko, bukan Beverald mengingat saat kejadian Beverald itu mamanya sudah pergi ke Bandung.

"La kena pukul." Ia menatap mamanya dengan ragu.

"Siapa orang itu? Di mana? Dan kenapa dia lakuin itu ke kamu?" Wiwin menatap Manila sungguh-sungguh.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang