Tiga puluh empat.

3.6K 226 14
                                    

Rio dan yang lainnya sudah berkumpul di markas anak Binaraya yang biasa mereka tempati.

Rio hanya terduduk diam di sofa. Ia menatap kosong apa yang ada di depannya bahkan mengabaikan beberapa temannya yang berada di sekelilingnya.

"Dia kenapa?" Tanya Emir pada Iqbal yang duduk di sebelah Rio.

Iqbal, kelas 12 IPA 3 yang juga teman seperjuangan Rio dkk saat menghadapi pertempuran dengan sekolah lain.

Yang ditanya hanya mengangkat pundak dan meneguk segelas bir yang tersedia di meja.

"Lo udah minum berapa gelas?" Emir memperhatikannya.

"Tiga."

"Nggak keleyengan?"

"Tiga gelas kecil belum ada apa-apanya bagi gue." Iqbal terlihat menyerahkan gelas itu pada Emir. "Mau coba?"

Emir menggeleng cepat. Pasalnya, di antara Rio, Emir, Ican, dan Morgan, memang tidak ada yang pernah mencoba minuman seperti itu. Jangankan itu, mereka berempat bahkan tidak ada yang merokok.

Morgan? Si tampan yang jelas-jelas lebih normal daripada ketiga temannya itu wajar-wajar saja tidak merokok.

Namun Rio, Emir, dan Ican? Si bangor sekolahan yang bahkan begajulan tingkat dewa itu bahkan sama sekali tidak pernah menghisap sebatang rokok sedikit pun.

Ada alasan tersendiri mengapa mereka tidak melakukan itu dan tidak mau melakukan itu. Ya, karena mereka berempat sudah dididik dari keluarga yang berada sejak kecil. Selain karena didikan, mereka berempat juga memikul beban berat yang mana harus menjaga reputasi diri sendiri, terutama keluarga.

Khususnya Rio. Dia memiliki latar belakang keluarga yang sangat bagus, dimana sedikit kejelekan bisa saja menjadi boomerang bagi dirinya. Tapi hal itu tidak berlaku selagi tidak ada hal fatal yang dilakukannya. Darian, sang ayah, memang mendengar kabar bahwa Rio sering terlibat dalam pertempuran antar sekolah, tapi hal itu tidak ia ambil pusing dengan tidak memperpanjang masalah.

Baginya, biarkan Rio menghabiskan masa remajanya sendiri, sebelum akhirnya benar-benar harus dituntun ke arah yang serius. Tapi, Rio tidak mengetahui hal itu. Yang ia tahu, ayahnya tidak pernah tahu soal pertempuran yang pernah ia lakukan.

Kembali lagi, Emir merasakan ada hal yang sangat Rio cemaskan saat itu. "Kenapa sih, Ri?"

"Morgan mana?"

"Di sana, sama si Ican. Kenapa?"

"Ada yang perlu gue omongin, berempat khusus."

Rio lantas bangkit dari sofa lalu menghampiri Morgan yang entah di mana, diikuti Emir yang mengekor di belakang. Dari tampangnya Rio, sepertinya ia akan berbicara hal serius.

"Nah, kalah kan lo. Udah gue bilang lo pasti kalah." Ican dan Morgan asik menonton video di layar ponsel mereka sambil duduk manis di sofa yang terdapat di ruangan lain.

Menyadari kedatangan Rio dan Emir, Ican menjeda video sepakbola yang ditontonnya bersama Morgan, diikuti Rio yang langsung duduk lesehan di depan mereka.

"Gue mau ngomong serius sama kalian."

Ican dan Morgan saling menoleh, bertanya-tanya di dalam diri masing-masing.

Emir mengikuti Rio untuk duduk lesehan di sebelahnya. "Jangan tegang-tegang amat lo pada."

Rio menatap Morgan serius. "Lo yakin mau ikut tempur nanti?"

Morgan mengangguk.

"Gue sih seneng kalo lo mau ikut kita gabung gitu. Cuma......." Rio menggantungkan kalimatnya.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang