Lima puluh tiga.

2.8K 253 24
                                    

"Lo suka sama Emir?"

Deg, pertanyaan Rio barusan mampu membuat Macika menoleh dan menatap Rio sebal.

"Apaan, sih. Aku nggak suka sama dia, tau!"

"Bagus deh." Rio akhirnya bernapas lega.

"Kok?" Maciia menatapnya heran.

"Lo masih kecil. Nggak boleh pacaran. Tunggu waktu yang tepat untuk lo rasain gimana rasanya jatuh cinta."

"Kak Rio juga pacaran waktu kelas sepuluh."

"Sama siapa?"

"Aku nggak tau siapa namanya. Tapi Kakak cantik yang dulu sering main ke rumah Kakak pas Kakak kelas sepuluh."

"Renata?"

"Iya, dia."

"Gue sama dia nggak pacaran."

"Tapi Kakak sayang kan sama dia?"

"Iya," jelas Rio, "gue sayang sama dia sebagai sahabat."

"Kok cuma sahabat, sih?"

"Karena posisinya waktu itu kita masih kelas sepuluh. Belum saatnya pada usia kayak gitu tuh kita udah rasain gimana sakitnya patah hati."

"Emang Kakak sering patah hati karena dia?"

Rio terdiam sebentar hingga tak lama berkata, "nggak usah kayak wartawan, deh. Udah mending fokus ke lo aja. Lo itu masih kecil dan butuh waktu untuk mengerti soal cinta."

Macika tersenyum dan memberi tanda hormat pada Rio. "Siap!"

Hingga tak lama mobil yang ditumpangi Rio dan Macika sampai di bandara, diikuti mobil Emir yang tadi mengikuti mereka—akhirnya sampai bandara juga.

Rio dan Macika turun dari mobil, disusul Emir dkk yang menyusul Rio di tempat tersebut.

"Mobil ditaro mana?" Tanya Emir pada Morgan yang tadi menyetir.

"Parkiran, lha," jawab Morgan enteng.

"Thanks banget nih lo semua nemenin gue sampe bandara." Rio tersenyum menatap teman-temannya bergantian, termasuk Raya.

"Santai aja kali," ucap Ican.

"Pesawat berangkat jam berapa?" Tanya Morgan pada Rio.

Rio mengecek jam tangannya lalu berkata, "sejam lagi, nih..."

"Kak Emir!" Macika yang sembunyi di balik badan Rio itu tersenyum.

"Udah tau kecil, malah ngumpet di situ," gumam Emir yang tersenyum juga.

Macika menampakan dirinya. Ia berdiri di sebelah Rio dan di hadapan Emir.

Macika menggigit bibir bawahnya. "Aku minta maaf soal tadi, yah..."

"Maafin nggak, ya?" Pikir Emir dengan wajah konyolnya. "Kalo gue nggak mau maafin?"

Macika pun langsung cemberut kesal—menampakan pipinya yang chubby itu—membuat Emir gemas.

"Emang penting banget, ya, maaf dari gue itu? Emang kenapa kalo gue nggak maafin lo?" Tanya Emir sambil tersenyum manis.

"Aku kan mau ke Madiun. Kalo nanti di sana aku kepikiran sama salah aku ke Kak Emir, gimana?" Macika menatap pasrah.

"Ya bagus, dong.."

"Kok?"

"Biar mau di mana pun elo, lo tetep mikirin gue." Emir menaikan kedua alisnya sambil tersenyum manis.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang