Enam puluh satu (3): Jangan merasa menyesal

1.3K 131 74
                                    


Jangan lupa diputar video di atas ya biar tambah makin dapet feel-nya. Semoga, hehe.

•••••••

"Ini penting."

Seorang gadis berambut hitam pendek itu sudah menatap Manila datar sekali. Ternyata raut wajah datarnya menyerupai Rio bila sedang begini. Macika sudah menatap Manila muak.

Kini, Manila dan Macika berada di rooftop sekolah ketika yang lain menunggu di kelas atau lapangan sampai gerbang terbuka.

Macika yang mengajak Manila ke rooftop, karena ia ingin melangsungkan aksinya mengenai sebuah kebenaran yang ia tahu.

"Ini soal Kak Rio," lanjut sang adik sepupu pentolan sekolah itu yang sedang menatap serius.

"Kenapa lagi? Kan udah saya bilang kalo saya itu nggak ada urusan apa-apa sama dia." Manila berusaha menjelaskan, "dan juga, saya udah membereskan masalah saya sama dia, kemarin sore."

"Aku tau, kok. Aku tau kalo Kakak emang selalu menganggap nggak punya urusan apa-apa sama Kak Rio," jelasnya, "padahal ada, Kak! Apa sampai sekarang Kakak tau, alasan kenapa Kak Rio masih bertahan lindungi Kakak?!"

Ya, benar. Gue nggak tau alasan sebenarnya. Dalam hati Manila membatin.

"Kamu kok natap saya gitu, sih?" Manila mempermasalahkan tatapan Macika. "Kalo kamu mau bicara sama saya, bicara baik-baik. Dan raut muka kamu nggak perlu mengancam saya."

"Oke, aku langsung to the point. Kenapa sih Kakak nggak pernah anggap Kak Rio ada? Bisa nggak, sekali aja Kakak hargai perjuangan Kak Rio?! Kakak pikir jadi Kak Rio itu enak?! Tiap hari ngurusin orang yang jelas-jelas orang itu bukan siapa-siapa dia?!"

"Lagipula, siapa yang nyuruh Kak Rio buat urusin saya, ha?!" Manila tak kalah menyulutkan emosinya. "Kalo dari awal kamu mau bilang ini semua, nggak perlu kamu sok-sokan chat saya. Sok manis, kamu."

Macika menatap Manila kecewa. "Saya tau kenapa Kakak nggak bisa bersikap baik sama Kak Rio, karena Kakak butuh bukti, kan?! Kakak takut kalo tindakan Kak Rio yang ingin lindungi Kakak itu cuma bohongan, kan?!"

Manila terdiam menatap Macika. Mengapa gadis yang biasanya imut kekanak-kanakan ini terlihat lebih dari biasanya. Bahkan dari gaya bicaranya yang seolah-olah ingin mengajak Manila berkelahi.

Tak perlu banyak cakap lagi, Macika pun mengeluarkan selembar kertas dari saku baju seragamnya lalu melemparinya ke dada Manila.

"Itu! Itu buktinya, Kak!"

Mata Manila mengarah ke kertas tersebut yang jatuh ke aspal rooftop.

"Kakak mau tau alasan Kak Rio, kan?! Dari jauh-jauh hari aku udah kasih tau ke Kakak, tapi Kakak nggak pernah respon!"

Manila kembali menatap Macika. "Selama kamu chat saya, kamu nggak pernah membahas soal Kakak kamu, Rio! Kamu hanya chat saya yang nggak penting dan nggak perlu saya tahu!"

"Aku pernah kirim voice note ke Kakak lewat Line. Dan tindakan Kakak, apa? Nggak ada! Bahkan Kakak nggak hargai usaha aku buat chat Kakak!" Raut wajah Macika yang penuh emosi tadi perlahan berubah sedih menatap Manila.

"Karena kamu nggak pernah chat saya yang penting! Jadi buat apa saya balas chat kamu?!" Emosi Manila terpancing. "Karena yang saya tahu, kamu bakalan membahas Rio, kan?! Karena itu saya menghindar. Hidup saya itu nggak harus selalu tentang Rio!"

"Itu semua aku lakuin dengan perlahan biar aku bisa kasih tau, Kak! Nggak mungkin aku main kasih tau yang sebenarnya ke Kakak, sedangkan kita aja nggak dekat! Jangankan dekat, aku tau kalo Kakak nggak suka sama sikap aku, kan?"

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang