"Karena harusnya lo mati."Mata Manila tak berhenti menatap mata laki-laki yang berdiri kokoh di hadapannya. Rasa takutnya semakin bertambah karena mengingat barusan ia mendorong bahu laki-laki itu dengan keras.
Mendengar ucapan laki-laki itu yang terdengar seperti pernyataan akan takdir Manila, ia terdiam sekejap dan memilih untuk bungkam.
Laki-laki di hadapannya menatap mata Manila dengan tatapan serius, tidak ada bercandanya.
Tapi ada sedikit rasa kecewa di dalam diri Manila karena mendengar pernyataan dari laki-laki itu yang seakan-akan lebih baik Manila mati.
Yang Manila paham dari ucapan laki-laki itu adalah: seharusnya Manila mati. Jadi seketika Manila langsung merasa bahwa ia memang seharusnya tidak hidup.
Ia meneguk salivanya, menatap mata laki-laki itu dengan sedikit kecewa lalu berkata, "kalau memang menurut Kakak saya harus mati, kenapa Kakak ada di sini sekarang? Apa Kakak berniat membunuh saya di sini?"
Laki-laki yang disebut 'kakak' oleh Manila itu langsung berkata, "karena yang menginginkan lo mati bukan gue, tapi mereka."
"Kak Rio!" Manila langsung mengeraskan nada bicaranya dan raut wajahnya berubah marah. "Apa sih tujuan Kakak nyuruh saya ke sini?! Kakak mau jelasin sampai mulut Kakak berbusa soal kebaikan Kakak yang lebih daripada Tommy?!"
"Gue gak pernah bilang sama lo kalo gue itu baik," timpal Rio enteng.
"Kenapa nada bicara Kakak berubah ngejengkelin gini, sih?! Kenapa gak kayak tadi aja, sok-sokan nakutin saya?! Kakak tuh aneh ya, kadang ngomongnya sok dingin, sok galak, dan bahkan gak jelas."
Raut wajah Rio yang terlihat mengancam tadi langsung berubah biasa. Laki-laki itu memutar bola matanya malas. "Gue gak berlaga apapun tadi. Dan kalo pun lo mau gue kayak tadi, emang lo berani?"
Manila terdiam dan tidak menanggapi apa yang dikatakan Rio barusan, ia malah mengalihkan pembicaraan. "Jadi yang naruh coklat sama surat di kolong meja saya itu, Kakak?"
Rio yang tiba-tiba menjadi terdiam karena mendengar pertanyaan Manila. Ia langsung mengalihkan matanya dari pandangan gadis itu.
"Kenapa gak natap saya???" Manila memiringkan kepalanya menatap wajah Rio yang sedang berusaha mengalihkan mata.
Rio merasa risih dengan wajah Manila yang menatapnya seperti itu. Ia memundurkan dirinya selangkah lalu menatap gadis itu biasa.
Ia berdecak kesal pada Manila. "Bisa gak sih liatinnya gak gitu!"
"Emang kenapa?! Kakak juga sering natap saya kayak gitu?! Bahkan lebih sering banget!" Manila tak kalah membesarkan nada bicaranya.
Rio terdiam malu sambil berpikir sesering apa ia memandang wajah Manila dari jarak dekat hingga membuat gadis itu ketakutan.
"Jawab pertanyaan saya dulu! Kalo Kakak ada di sini, berarti Kakak kan yang naruh coklat sama surat itu?!"
Rio berusaha menatap Manila dengan perasaan yang masih sebal karena malu. "Bukan gue, tapi Emir."
Mata Manila sontak melebar. "Kak Emir?" Ia terdiam sebentar lalu kembali bertanya, "untuk apa Kak Emir lakuin itu ke saya??"
"Denger gue dulu," Rio menatap Manila semakin sebal karena Manila yang menyerocos tiada henti. "Yang naruh coklat sama surat di kolong meja lo itu emang Emir, tapi yang nyuruh dia, gua."
Manila terdiam memandang wajah Rio dengan tatapan bingung. Ia hanya mengerutkan keningnya saja.
"Iya, gue tau," kata Rio, "gue tau kalo cara gue itu norak banget. Ya tapi mau gimana lagi? Kalo gak digituin, lo gak bakal dateng."
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Sunshit [SELESAI]
Teen Fiction[SUNSHIT SERIES] MARIO WEASLEY, yang akrab disapa Rio itu dikenal sebagai pentolan sekolah di SMA Binaraya. Dia orangnya baperan, moody, kadang dingin, kadang sangar, dia dekat sama banyak cewek tapi hanya sebatas dekat. Beberapa orang di sekolah me...