Tiga puluh sembilan.

3.5K 268 65
                                    


"Apa ada yang mau dilaporin?"

Suara Rio menggema di ruang kamarnya, bersamaan dengan keberadaan teman-temannya di sekitar.

Ingin melihat progres yang didapat, Rio sengaja meminta Emir untuk membawa ke kamarnya.

Dan ya, sekarang Raya berada di kamar pentolan sekolahnya yang sangat privasi itu bersama Emir, Ican, dan Morgan.

Melihat pertanyaan Rio yang begitu serius, dengan tersenyum Raya menjawab, "saya tahu ke mana selama ini Tommy anterin Manila pulang."

"Di perumahan elit yang Rio maksud?" Ican menimpali.

Raya menggeleng. "Di sebuah perkampungan yang nggak jauh dari perumahan itu."

Keempat laki-laki yang memandang Raya serius itu menunggu penjelasan selanjutnya.

"Kemarin, saya nggak sengaja lagi makan bakso di pinggir jalan yang deket gang perkampungan itu. Dan ternyata, saya nggak sengaja lihat Tommy bonceng Manila masuk ke gang itu. Ya udah deh, diam-diam saya ikutin mereka."

"Lo serius? Mereka kan naik motor." Emir nampak kurang yakin.

Raya menatap Emir sungguh-sungguh. "Saya serius Kak. Walaupun mereka naik motor, kecepatan motornya ya beda saat mereka lagi di jalan raya. Karena kan yang namanya lewat perkampungan itu nggak boleh berisik karena lewat rumah warga."

Sebuah senyuman melengkung di wajah Rio. "Gokil deh. Besok-besok kayaknya gue bakalan jadiin lo partner detektif."

Morgan sedari tadi diam juga berkata, "menurut gue, Manila itu cerdas lho. Di saat yang sama dia itu tinggal di perumahan elit, tapi dia berhasil mengelabui Tommy dan bikin cowok itu nganterin balik ke rumah yang lain."

"Saya nggak bisa nyalahin Manila juga sih, Kak. Bener atau nggak Manila tinggal di situ, saya nggak tahu. Yang saya tahu, Tommy pasti anterin Manila ke rumah itu," jelas Raya.

Emir juga menyahut, "kalo gitu berarti besok—"

"Kak Rio!!!" Ucapan Emir terpotong ketika Macika yang entah dari mana itu masuk dengan sembarang ke kamar Rio. "Kakak lihat remot TV kamar aku, nggak? Di kamarku nggak ada. Kakak pinjem, pasti," lanjutnya.

"Biang rusuh," gumam Ican.

Rio memutar bola matanya malas. "Nggak tahu. Udah sana pergi, jangan ganggu."

"Tapi di kamarku nggak ada. Biasanya kan Kakak yang suka ambil sembarangan dari kamar aku."

"Tapi gue nggak minjem Ce, lo cari lagi aja sana. Udah pergi, ganggu banget."

Perlahan pandangan Macika beralih pada Raya yang duduk di tengah-tengah Emir dan Morgan itu sedang menyimak keadaan.

Lalu ia kembali menatap Rio. "Pacar Kakak, ya?"

"Bukan urusan lo. Keluar sekarang."

"Aku cuma nanya, galak banget ih. Jadi di mana remot TV aku? Aku nggak mau ya kalo—"

"Cik, makan es krim yuk?" Emir bangkit dari duduknya lalu merangkul Macika yang lebih pendek itu.

Macika menatap Emir bingung.

"Gimana kalo kita jalan malem ini? Gue traktir lo beli es krim deh," lanjutnya dengan tersenyum manis.

"Siapa yang mau es krim, sih? Yang aku mau itu remot TV," kata Macika masih dengan nada yang kesal.

"Macika cantik, nggak sayang nanti kecantikan lo itu luntur karena marah-marah terus?"

Melihat Emir yang merayu Macika dengan tulus, Raya yang melihatnya menjadi sedikit tidak nyaman.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang