Dua puluh enam.

3.8K 261 11
                                    

Hari ini hari Minggu, hari di mana seluruh anggota OSIS dari SMA Binaraya melaksanakan salah satu program kerja mereka yang diadakan tiap tahun, yaitu bakti sosial.

Di dalam kegiatan sosial ini, para panitia OSIS boleh mengajak rekannya yang di luar OSIS. Termasuk Manila, ia mengajak Raya untuk itu.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang memilih tempat kaum dhuafa untuk baksos, kali ini mereka memilih rumah sakit kanker terlengkap di daerah mereka.

Banyak orang-orang yang mengidap penyakit kanker dari berbagai macam jenis dirawat di rumah sakit itu.

"Untuk para panitia, setelah sosialisasi, kalian harus kembali ke tupoksi kalian masing-masing, jangan sampe lengah karena ini bukan bercandaan. Dan untuk rekan-rekan yang kalian bawa, dimohon untuk menjaga sikapnya," suara Marko terdengar jelas saat memberikan arahan pada anggota OSIS yang berkumpul. "Kalian bisa mulai sekarang."

Satu per satu para anggota OSIS itu berpencar untuk memulai tugasnya masing-masing. Mereka bisa mengajak rekannya untuk bersosialisasi.

Sedangkan Manila masih terdiam di tempat, memandang Marko yang terlihat sibuk dengan anak-anak logistik.

Berhubung Raya tengah berkeliling duluan, Manila menghampiri Marko sebelum laki-laki itu menghilang.

"Marko," suara Manila membuat Marko menoleh dengan ragu.

Marko lantas menyuruh para anggota logistik untuk bekerja tanpanya dahulu.

"Kenapa, La?" Tanyanya pada Manila yang sudah di depannya.

Tanpa ragu Manila langsung tersenyum. "Jangan ngejauh lagi, ya."

Marko tertegun dengan ucapan Manila. Dengan terbata ia berkata, "ma-maksud lo?"

"Gue nggak bodoh, Marko. Tentang kejadian itu, nggak usah ngerasa bersalah terus. I'm okay, gue harap lo bisa anggap diri gue ini ada. Jangan kayak setelah kejadian itu, gue ada di depan mata lo aja, lo malah menghindar."

Setelah menghela napas panjang Marko berkata, "gue ngerasa nggak layak banget jadi ketua OSIS, La. Gue malu karena gue mukul anggota keluarga sendiri."

Sambil tersenyum Manila menepuk pundak Marko. "Ya udah, itu kan kemarin, sekarang lo harus lihat ke depan. Yang penting sekarang gue nggak apa-apa kan?"

Marko mengangguk lalu membalas senyuman gadis itu.

Setelah itu, Marko bersikap biasa lagi kepada Manila. Sungguh ia merasa lega karena nyatanya Manila yang dikiranya sangat marah ternyata di luar dugaannya.

Sesuai rundown yang dibuat panitia acara, hal pertama yang akan mereka lakukan adalah bersosialisasi dengan para pasien dan dokter sebelum bantuan diberikan.

Meninggalkan Raya yang entah berkeliling di mana, Manila masuk seorang diri ke dalam ruangan pasien.

"Bagaimana rasanya sekarang?" Itu suara dokter Andrew yang bertanya lembut kepada pasiennya. Dokter Andrew merupakan dokter spesialis kanker yang kebetulan mendapat pasien pengidap Hepatitis B.

Gadis remaja yang menjadi pasien dokter Andrew itu tersenyum. "Rasa sakit di dada saya udah berkurang kok, Dok."

Manila mengamati isi ruangan tersebut. Total ada 6 pasien di dalam ruangan ini, yang masing-masingnya berbaring di hospital bed.

Selain itu, Manila mengamati cara kerja dokter Andrew yang tengah memegang sebuah alat suntik yang jarumnya sangat lancip.

"Jarum suntik itu..."

"Oh ini..." Dokter Andrew tersenyum. "Sebelum kamu datang ke sini, saya telah menyuntikkan vaksin untuk pasien saya ini."

"Dokter sudah terbiasa menangani darah dari pasien pengidap Hepatitis?" Manila menatap dokter Andrew serius.

You're My Sunshit [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang