50| Eulogi Candra

528 26 6
                                    

Puan, sang filsuf, dipapah kekasihnya

Dengan getir ia mengusap ceceran darahnya
Gaun suteranya robek menyingkap luka
Namun sang kekasih tetap setia dalam nelangsa

Sang kekasih tersedu seraya berujar:
"Puan, mengapa engkau perlu intervensi?
Dua faksi itu hanya akan saling menghajar
Merekalah hewan-hewan hipokrit tak tahu diri."

Dengan senyum, Puan membalas ucapannya
Dan pada sang kekasih diwartakan nasihat ini:
"Semua insan adalah saudaraku, pun juga kau
Miskonsepsi dan apatismelah yang konsisten meracau
Jika tak berhenti sekarang, mereka 'kan tetap mengacau."

Sang kekasih bertanya lagi kala kedua netra bertemu:
"Meski tidak ada Tuhan yang menyelamatkanmu?
Meski idealismemu dianggap naif, ilusif, dan elusif?
Meski tidak akan ada yang tanpa pamrih berlaku arif?"

Selagi para pengejar melontarkan panah berapi
Puan menganggukkan kepala dengan yakin
Maka teruslah mereka berlari ke arah Kuil Tuhan;
Satu-satunya suaka perlindungan yang sedang sepi

Dwipenyintas menapaki jalan pualam berdebu
Melintasi jajaran viatis dan pohon-pohon sagu
Di belakang, ratusan anak panah siap menyerbu
Takkan berhenti hingga keduanya tergagu dalam bisu

Kala Puan tersandung dan lukanya belum pulih
Satu anak panah menelus bahu sang kekasih
Darahnya mengalir dan suaranya menjerit lirih
Ketakutan dan keputusasaan segera mengambil alih

Puan berteriak, tetapi sang kekasih menolak bantuan
"Pergilah! Mereka akan kutahan dengan segenap raga
Karena atmaku percaya kaulah yang tercerahkan."
Sedikit yang ia tahu, itulah kata-kata terakhirnya

Tirta netra mendobrak kelopak Puan yang terpukul
Selagi sang kekasih bermandikan darah segar
Ia terus berlari, seraya menahan amarah yang timbul
Ke tengah kuil, ke suaka proteksi, tetap saja tegar

Langkahnya limbung dihunjam panah berdarah
Para pengejar mengganas, membabi buta tanpa arah
Sebagian mengumpat, berniat membakar sang terdakwa
Maka kini tidak ada siapapun yang akan melindunginya

Keputusasaan membelit perut, dada, dan mindanya
Bibir membisikkan tiga permintaan terakhirnya:
"Jika kau memang ada, jika aku memang benar, Tuhan
Kabulkanlah tiga permintaan, maka kulabuhkan penghambaan."

Satu panah berapi mengenai bahu kiri sang wanita
Darah mengucur dari kulitnya, dan Puan berbisik:
"Berikan mereka kejenjaman yang mengangkasa
Hingga tidak ada alazon dan hipokrit yang merisak."

Panah kedua hinggap di bahu sebelah kanannya
Ia nyaris tergagau sambil menegakkan diri
"Pertemukan aku dengan sang kekasihku lagi
Baik dalam neraka, surga, maupun nirwana."

Lagi, panah ketiga menusuk punggungnya bagai ngegat
Kali ini ia sudah hampir roboh dan hilang kendali
"Jadikanlah momentum ini sebagai pengingat
Akan kuasa-Mu atas semesta yang mahainfiti."

Puan, sang filsuf wanita, akhirnya mereguk nyeri
Rebah tubuh di samping kaum hipokrit ngeri
Netra krimson penyesalan atas dosa dan elegi
Menghablurkan tirta netra dini dari pipi diri

"Kami akan membunuh pelacur ini!"
"Kami bakal melindungi Pencipta kami!"
Sontak selaksa sorak-sorai terpercik
Dari kaum hipokrit yang licik nan picik

Sorot fokus pada sang Puan, terkoyak bajunya
Target ajang pemuasan birahi atas nama ilahi
"Lindungi tujuan kudus kami, Pencipta!"
"Penyihir sesat ini mesti dipungkasi!"

Piringan bulan, puja-puji, menyumbat rawi
Gerhana, tersingkap korona, aureol, abhati
Puan menengadah menuju sentra ampunan
Wajahnya mengais terpaan, hunjaman, ibaan

"Yang Misterius, Yang Suci, Yang Tegar!"

Laskar Dewana yang tersulut tunam amarah
Tetiba terperanjat menilik Sang Puan menyerah

"Bawa aku jauh dari kaum hipokrit!"

Hendak tangan merengkuh strata jagat buana
Kala swastamita berselimut binar purnama

"Nelangsa, nelangsa, jauh dari nirwanamu!"

Candra berbinar kian terang benderang
Darinya turun sulur-sulur kinyang amarta
Menuruni dirgantara kalis nan sentosa
Menyurutkan alufiru di palung perang

"Puan dari para penebus dan pembebas,"
"Yang terakhir mundur, bahkan saat sekarat,"
"Salam bagi kesadaran kalismu, yang kandas,"
"Kiranya apersepsi mindamu tiada berkhianat."

Sulur-sulur asura titisan Candra menelus
Menyelubungi raga lesu lunglai sang Puan
Vibrasi iluminasi suam merambat mulus
Mengontak koneksi cedera sebagai penghiburan

"Hiduplah azali, berdikari di bawah langit."
"Lebur kembali, selaku gemintang berkilat."
"Lahir lagi, mewujud tiara siklus sengsara."
"Datang ke dekapanku, di atas persada."

Atma Puan tertarik malai jari-jemari Candra
Tenggelam dalam galeri samudra berbintang
Naik, naik, menaiki anak tangga tak terbilang
Menjelma konstelasi kolosal di atas dirgantara

Kematian menguak memori sebelum kremasi
Menunjukkan Puan kilas hidupnya terakhir kali
Menyudahi kulminasi atraksi Candra yaum ini
Sembari menyengap dewan hewan sok suci

--Nozdormu, the tales of the philosopher, the lover, and the supreme.

[Puisi Surealis]

[Banyuwangi, 19/02/17]

[Direvisi tanggal 16/09/17]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang