62| Gangguan Identitas Disosiatif

305 30 4
                                    

"Diriku, katakan untuk apa saya mesti lahir.”

“Pertanyaan bodoh.”

“Kenapa bodoh?”

“Bukankah kamu dilahirkan hanya untuk mengabdi Tuhan-Mu? Bukannya itu sejelas-jelasnya alasan bagimu?”

“Saya tidak minta dilahirkan.”

“Kamu tidak bersyukur? Nikmat Tuhan-Mu yang mana yang kau dustakan lagi?”

“Saya bersyukur bisa hidup, ‘tapi saya yakin kamu tahu saya tidak pernah menandatangi kontrak untuk datang ke dunia ini.”

“Cucur tuturmu melantur. Sejak kapan kamu mempertanyakan hal-hal semacam ini? Sejak dicuci otak oleh indoktrinasi sekuler itu?”

“Sejak Tuhan-Mu tidak pernah mengizinkan saya untuk mengizinkan saya untuk mencintainya dalam penderitaan yang saya lalui.”

“Kamu terlalu skeptis. Tuhan juga mesti ditakuti.”

“Tuhan-Mu hanya menelantarkan saya untuk kepuasan-Nya sendiri, bukan?”

“Jaga bicaramu. Tuhan-Mu memperhatikanmu. Ia bisa saja mencabut nyawamu dan melemparkannya ke dalam kerak neraka.”

“Mengapa hanya ada neraka dan surga? Mengapa tidak ada nirwana atau limbo?”

“Karena orang-orang fasik dan munafik sepertimu pantas menderita di dalamnya.”

“Benarkah? Jika Tuhan-Mu mengetahui dari awal bahwa saya akan menjadi orang fasik dan munafik, mengapa Dia tidak mencoba menolong dan berlaku tidak acuh pada saya?”

“Kamu kira kamu siapa? Orang suci yang spesial? Nabi? Mestikah Tuhan mengintervensi linimasa yang kamu buat sendiri, pemalas dramatis?"

“Jika Tuhan-Mu benar Mahatahu, semestinya semua orang menjadi individu khusus di hadapannya. Apa benar Dia hanya memperhatikan kita dengan sungguh-sungguh hanya pada Hari Penghakiman? Kamu kira ini lucu?”

“Kamu kira Tuhan-Mu itu milikmu? Bukan kamu yang semestinya menjadi milik-Nya? Sekarang siapa yang sering makin micin?”

“Haruskah ada Tuhan? Apa kamu tidak merasa bosan di surga?”

“Bedebah tak tahu malu. Tunggu sampai ajal menjemputmu.”

“Akan saya sampaikan pesanmu ke Tuhan Yang Mahasibuk. Itu pun kalau saya berhasil masuk ke dalam neraka yang kamu takuti.”

“Pemberontak tak berotak kamu. Bisa-bisanya kamu menghina-Nya, sekalian masuk saja kamu ke jahanam!”

“Sekarang siapa yang munafik? Saya dulu seperti kamu, dicekoki doktrin agama, dipaksa mengakui ideologi mahaabsolut, mudah termakan propaganda--”

“Diam kamu, jalang tak tahu diuntung!”

“--juga dipaksa untuk menjadi paranoid dan pasrah, membenci agama orang lain--”

“Cecunguk bungkuk! Nista kamu! Agamaku hanya satu-satunya yang benar!”

“--dan menjadi sumbu pendek yang subjektif--”

“Bangsat keparat! Diam! Kuludahi wajahmu, jelata!”

“--juga takut menghadapi dunia logika yang nyata.”

“Menurutmu kamu sudah bijak, hah? Puas kamu menghina Tuhan-mu sendiri? Dasar kafir!”

“Apakah menurutmu kita mesti menjadi budak Tuhan, diriku? Melayani hasratnya tiap waktu?”

“Orok goblok! Kamu kira kamu bisa dengan seenak udel bisa menyamakan Tuhan dengan manusia? Dia tidak punya nafsu hewani sepertimu, lacur!”

“Tahu dari mana kamu? Dari kitab suci? Pernahkah kamu bertemu dengan-Nya sendiri?”

“Itu perbedaan antara kita berdua, berengsek!” Kamu tidak beriman, sedang saya hamba Tuhan.”

“Sejak kapan kamu jadi hamba Tuhan? Apakah Tuhan pernah menobatkanmu secara resmi?”

“Karena itu bukan urusan kamu! Terserah saya mau menobatkan diri saya dengan panggilan apa saja!”

“Dan kenapa kamu kelihatan begitu tertekan dengan apa yang saya yakini sekarang? Sampai menyerapahi saya begini? Apa saya tidak boleh beropini bahwa Tuhan telah meninggalkan kita?”

“Diam! Diam! DIAM!”

“Tidak, kamu yang akan saya bungkam. Umat manusia tidak perlu kaum intoleran sepertimu.”

“TUHAN, BAKAR ORANG INI--AAAHHH!”

“Diam. Sekarang rasakan bagaimana saya menderita.”

“JAHANAM! ANJING! BABI---AAAAHHHH!”

“Bagaimana rasanya? Sakit? Bagus, karena itu yang saya rasakan tiap hari, ketika Tuhan-Mu menguji saya tanpa menjawab cinta yang sudah saya pusatkan pada-Nya. Inilah yang saya rasakan ketika Tuhan-Mu meminta saya bersabar seumur hidup.”

“GILA, SAKIT JIWA KAMU--AARRGGHH--”

“Coba tanyakan pada Tuhan-Mu nanti di alam baka, siapa yang sebenarnya gila?”

“AAARRRGGHH!”

“Ck, sayang sekali. Andaikata kamu bisa menjawab pertanyaan saya tadi ….”

“K--kamu ….”

“Karena ...tujuan hidup saya adalah ... untuk mencari tujuan hidup ….”

“....”

“Tidak … ada yang akan ... menolongmu … sekarang, diriku … yang … malang.”

“....”

“Karena … jika kau--ah--mati … maka … saya … juga … akan ….”

“....”

“Menjemputmu … ke ….”

“....”

“....”

[Banyuwangi, 07/08/17]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang