I. Konvalesensi
Kusisakan sepasang tirta netra warsa ini
Bagiku, insan fana yang hendak memahami
Tak seperti insan lain yang berhasrat memiliki
Semesta, yang elusif. Izinkan aku untuk menjadiDari debu bintang dan kembali ke debu bintang
Dan eksulansis yang mendamaikan bilik kalbuku
Anasir yang abadi dalam diri, fana dalam dentang
Sangkala. Yang bernaung dalam fabrik ruang-waktuSejenak aku berhenti, dari sarwa kaos dan harmoni
Mengangankan fantom keilahian menyusupi bumi
Ilusi yang abadi, ingatlah aku, yang menata domino
Laiknya satu kupu-kupu dalam taifun, pelantun animoKatakanlah, akulah satu dari sekian banyak penyair
Yang tak bersajak tentang anggur, afeksi, atau candra
Katakanlah, akulah seseorang yang pernah menatap Mair
Yang darinya menjelma sadar akan determinasi semestaDi sini ragaku beristirahat, atmaku rindu pada Yang Satu
Mengikuti pola semesta trimatra, atmaku selalu terterungku
Menjemukan, dan orang-orang lain akan selalu menyeru
Dan meludahimu. Dan melukaimu. Dan meninggalkanmu.Kesentosaan palsu, kuwariskan padamu tetes tirta netraku
Titik nadir memanggilku, nihilisme memanggul atmaku
Sekarat, sekerat bayang Mair mengetuk di depan pintu
Tidak ada selamat tinggal atau salam. Hanya diriku.II. Kontroversi
Kini satu hari lagi berakhir dan bayangan telah membumi
Meninggalkan surau-surau di tepi jalan dengan peringatan
Selagi para domba berbondong mencari iluminasi ilahi
Beberapa mencari pengampunan, yang lain pencerahanJadi mengapa, kini, kala semua bersujud dan berdoa
Aku berdiam diri mencari jawaban yang tak terjawab
Salahkah aku untuk memberikan seribu tanda tanya
Pada Yang Satu, yang memberiku atma dan amartaSemua usaha yang dilakukan sia-sia untuk memahami
Dan orang-orang bilang yang kucari amat menyesatkan
Betapa menjemukan, kata mereka yang memaki-maki
Tiada jawaban dari mereka yang kunjung memuaskanKutunggu sekian lama dan kureguk mata air yang lain
Takkan kuterima apa yang dijustifikasi oleh sarwa sabda
Dari paradoks dan silogisme tak lagi cukup bagi dahaga
Tiada minda yang terbuka, Yang Satu bermain-mainCukuplah sampai di sini, semua delusi akan terpungkasi
Dan kutiadakan konsep baik dan buruk di dunia monokrom
Selamanya terterungku dalam siklus infiniti semesta ini
Dan dipaksa menjadi budak yang tetap buta pada faktaAbsensi bukti yang pasti mencipta obsesi pada yang fiksi
Dan yang fiksi bertakhta di atas kejahatan, tak terhentikan
Lihatlah, anak ini t'lah tiada, bebaslah ia dari penghambaan
Laiknya cacing yang menjelma ular, menuhankan diri sendiriIII. Revelasi
Hitam. Hitam bersih. Hitam murni. Hitam semuanya
Nelangsa, nelangsa. Pemangsa dimangsa masa
Dan waktu manusia hanya secepat kedipan mata
Di mata seseorang yang mampu hidup selamanyaTidur tak lagi manjur. Tiap kali kututup netra
Waktu terlewati. Sepuluh, seratus, seribu warsa
Dan aku tak bisa mati. Di tempat yang sama
Aku meratap, menjelma saksi misteri mayapadaBaskara, semerah darah dan menjelma pemangsa
Indraku terjala sangkala, mindaku direnggut derita
Bahasa dan aksara terpungkasi, tiada yang tertera
Gersang, tiada harap. Gerang, merejang angkaraUntuk pertama kalinya, Itu bergerak. Itu memangsa
Ouroboros, dari balik samudra kosmik menetapkan
Penghakiman. Selaksa entitas, menyelaputi bentala
Dan Itu berbicara padaku, yang terakhir dari sisanya"Apakah engkau menangis, wahai manusia? Maka
Menangislah. Rauplah apa yang kautanam darinya
Sekali-kali tiada pelindung yang dapat melindungimu
Katakanlah, Kamilah Mair, Kami akhir dari yang terakhir.""Untuk bertahan, Kami harus menyemesta dengannya
Untuk hidup, Kami yang tua melata, mencari suar amarta
Dalam Ketiadaan Kami tercipta, dan padanya Kami kembali
Katakanlah, tiada yang lari dari Mair, bahkan Mair itu sendiri."Untuk terakhir kalinya, 'nusia itu meratap dan menelangsa
Ouroboros, menurunkan tentakel-tentakel azura kalisnya
Padaku. Tiada perlawanan, kusambut panggilan darinya
Dan kembalilah ia pada zulmat, tiada keraguan baginya.[Banyuwangi, 27 April 2018]
KAMU SEDANG MEMBACA
Derai Hujan Pasti Berhenti
Poetry[Kumpulan Puisi dan Sajak] Derai Hujan Pasti Berhenti adalah buah pikiran dari refleksi, keyakinan, harapan, dan kontemplasi, bahwa tingkat kesusahan berbanding lurus dengan kemudahan. Atas dasar inilah, penulis mengangkat berbagai premis yang abstr...