Petang merentang lintang dan gemintang
Para durjana agama siap menyulut liang
Maka bertakbirlah sebagian manusia di rumahnya;
Sebab itulah yang akan menjelmakan tiangHalimun kebun milik orang yang melamun jua
Binatang pincang tercincang kaki-tangannya
Sudahlah seorang primadona hendak berangan;
Tiada awas akan intrik percik licik marabahayaMenapak jalan bersalju di atas bata merah ratapan
Dan ranting-ranting kering jatuh bergelimpangan
Sepatu bot menelusi lapis salju yang nyaris beku;
Seseorang menebar kemboja layu di pinggir jalanJendela kamar mengkristal tampak sayu
Di kejauhan batu dikikis bayu yang membeku
Sedang dua sejoli bersenggama dengan santai;
Tanpa menilik presensi insan yang tak lagi payuJarum ranum netra menebas bebas tubuh landai
Sesekali tirta rontok dari sukma yang terurai
Afeksi penghubung diri terkonversi menjadi afair;
Lalu ikhtiar, rosario dan rasio lenyap terburaiSeorang pria menahan tabir tangis terakhir
Di luar jendela, candala dan kalbunya berdesir
Ia memohon penebusan untuk memungkasi;
Tanpa rekuiem, mantra, atau doa yang melincirStamina dan adrenalin makin getol digeluti
Memilih antara trisula, tombak, atau samurai
Ia hendak menghadapkan bedil pulang;
Supaya gerbang paradiso terbuka lagiMerapal doa, menahan murka, tangis dibuang
Pintu kamar terkapar, algojo datang tak diundang
Menebar getar, ia kini bersedia memendam rahasia esa;
Ibunya bakal membusuk dengan selingkuhannya di gudang[Banyuwangi, 05/08/17]
KAMU SEDANG MEMBACA
Derai Hujan Pasti Berhenti
Poetry[Kumpulan Puisi dan Sajak] Derai Hujan Pasti Berhenti adalah buah pikiran dari refleksi, keyakinan, harapan, dan kontemplasi, bahwa tingkat kesusahan berbanding lurus dengan kemudahan. Atas dasar inilah, penulis mengangkat berbagai premis yang abstr...