66| Sakralitas

252 21 2
                                    

Memori pertamaku masih kabur
Tentang aksila-aksila yang membeku
Di mana aku bersimpuh di hadapan rohku
Dan bertanya, "Siapa aku? Dari mana asalku?"

Hitam dan putih mendominasi panggung teater
Tak peduli pada yang tulus, lembut, atau banter
Perjaka nirnoda, perawan nirwana, insan polos
Menghitung hari sebelum kepolosan akan lolos

Aku berjanji pada rohku, agar membayarnya
Di Jerusalem. Di hadapan kuil Zion mahakudus
Aku bersimpuh di lantai, menghadap gelenyarnya
Marmer berdebu. Di hadapan para serafim mulus

Koneksiku putus. Aku tiba-tiba ada di mayapada
Di dalam istana para raja penuh gemerlap emas
Budak, pelayan, bermalas-malasan dalam lemas
Dengan senyum ingin mencubit pipiku gemas

Selama berpuluh-puluh bulan dalam lingkup isolasi
Terbebas dari penderitaan, kesengsaraan, dan kehinaan
Dipaksa bercokol di harem penuh gadis perawan
Tanpa mengetahui dirinya sendiri adalah tahanan

Suatu hari diutus. Aku menghadapkan diri ke luar
Melihat orang tua, orang sakit, dan orang sekarat
Melirik orang suci, orang jelata, dan orang keparat
Menerima realita yang pahit dan kini berkarat

Mereka menyanyikan raungan sendu nirmadu
Berkasta banyak dan terpecah berkubu-kubu
Makan mereka adalah umpatan dari para pejabat
Minum mereka ialah ludah dari para konglomerat

Pohon Zaqqum hadir di antara dada mereka
Dan mungkin apel Eden yang diracuni iblis ranggah
Telah meneteskan liurnya ke dalam seribu sukma
Membuat manusia pasrah pada takdir dan arah

Seorang shaman menyeruku dari kejauhan--
Ia kehausan. Disuruhlah aku membuat simpulan;
Bagi untanya, perbekalannya, dan sadelnya
Sedang ia hanya seorang musafir dari negeri biasa

Wajah sawonya masih kabur dalam ingatan
Namun yang kuingat hanya satu soalan
Ia menawariku kekuasaan, atau kesakralan
Aku masih ingat, aku memilih keduanya.

[Banyuwangi, 05/08/17]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang