70| Indrajala Sangkala

278 7 4
                                    

Mair, mair, mengaltar di tubir
Sklera netra insan merupa asura
Adikara aksara tak lagi berkuasa
Dalam pendar, gerhana tak sudi bergulir

Rona manggala bahari dirisak vibrasi gempa
Korona bergejolak memacu suar prominensia
Sisa purba lancut muncul di kuala merangkap pusu
Bayu membatu selagi sarwa insan berkusu-kusu

Tilik, supersuar menelus urat kerak candra
Turunkan mahkotamu, wahai para penguasa!
Jauhari, ingat bahwa fakta bakal menyingkap wujudnya
Para fanatik, yang demikian bukan replika etsa realita

Ronce lonceng t'lah mengaum di Himalaya
Menandai tumpahnya cangkir teh kaum pertapa
Rubah merah dan kucing hitam terjaga dari hibernasinya
Kala kor teror menempa tremor pada segenap raga

Bagi mereka, cakra samsara sudah bergeming
Di burik bifurkasi, sarwa atma tak kuasa berpaling
Para spiritualis, dengarkan jeritan sanubari leluhurmu
Tidakkah kamu mau mengingat kelu, seraya mencabik bisu?

Refleksimu pada Alam memudar lewat iluminasi lunar
Sesama alazon saling menatar, lantas pada Dewa kamu gusar
Cuci otak mengarak korbannya sebagai sajen turunan
Selagi arca perkasa dan pencakar langit menabur tatapan

Ingatlah, tabularasa sebelum fase kepolosan dan kedunguan
Era menyetor lara dan nestapa pada beta demi penderitaan
Sedang seni dan alkohol menawarkan pembenaran kefanaan
Maka benar sabda Buddha: yang demikian muncul dari keegoisan

Tuan, puanku, aroma serangga busuk di sini bertebaran
Jentera lentera punya tentara padam di medan palagan
Tuan, puanku, halimun bersalju turun sudah di Sahara
Seruling ney milik kafilah persia membisu di guelta
Tuan, puanku, tiara aurora berdansa di atas montana
Badai aftab lekas menyengat epidermis berlaksa nara
Tuan, puanku, mengapa menangisi linimasa kehidupan?
Seluruh bagian darinya mengemis tirta netra dan ratapan

Dengarlah, insan lansia yang berseru di Menara Damaskus!
"Tanah ini tak lagi suci, orangnya berpretensi dalam sunyi."
"Prestise kejayaan jadi bungkus, ceramah tak lagi mangkus."
"Batalion legiun sumbu cepak bakal menyulut delinkuensi."

Massa main hakim sendiri, sang pendesersi diludahi
Kalimat hingga kata, kata hingga huruf, ia ditelanjangi
Berhenti tak mampu, kritik tak payu, selalu menganju
Maka massa melemparinya batu, hingga ia terbujur kaku

Eutanasia sia-sia para pembela terdakwa yang berdusta
Konsolasi filantropi? Jangan mimpi. Tiada huda lagi
Lewat sudah masa para cendekiawan dan ululilmi
Kini istidlal tiba dan sarwa insan kembali berkuda

Maka apabila cermin kebenaran diintegrasikan
Dan apabila kitab-kitab agama dimusnahkan
Serta apabila para kritikus dibebastugaskan
Maka, wahai penantang, nantikanlah kehancuran

Sejumput arogansi jelma selusin apologia
Begitu media massa berkoar di bentala maya
Tilik, saksikan betapa ironisnya umat manusia
Ke mana agni friksi, konspirasi, dan alienasi
Yang dahulu berlagak galak di muka mayapada
Saat semua kesadaran lahir demi satu misi?

Maka sekali-kali, manakah nabi-nabi panutan
Yang sering kali kamu olok dan anggap edan?
Maka sekali lagi, manakah rasul-rasul teladan
Yang konsisten mewartakan akhir zaman?

Kintsugi fantasi lagi-lagi tak terealisasi
Sebab insan dikutuk oleh jeruji liberalisasi
Dihantui kekolotan, diterjang mondialisasi
Maka pecahlah sekali lagi mangkuk tak berisi

Berapa lama engkau tak mampu berkata-kata?
Mirakel ini magnum opus karsa esa yang bertakhta
Baskara yang mesti membagi candra jadi dua
Kemudian menunjukkannya pada insan-insan hina

Sia-sialah sudah! Candra aswad terbelah sebelah
Kenisbian aksioma nubuat terbukti tanpa mengutip surah
Silakan buat rekonsiliasi dengan segenap sembahanmu!
Kala apokalips mengacau; kamulah yang akan tergagau

[Banyuwangi, 26/08/17]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang