94| Parak

233 14 2
                                    

Pada foniks di ambang kematian aku menyeru
Dengannya aku menggantung harapan palsu
Sembari menghitung perlahan sisa-sisa waktu
Menangis untuk bisa terbang ke dalam terungku

Untuk selamanya, dirikulah jalang terbuang
Dengan kompas kandas, aku melampaui batas
Katakan kutukan ini bagai luka yang tercincang
Sebab kini aku selamanya dilaknat untuk bebas

Dan kau, sayang, adalah baskara yang membakarku
Senyummu basah-hangat tertampar derai badai
Di atas rumput mutiara merah kau menunggu
Tertidur, selagi dibungkus sayap obsidian

Untuk sekian lama, akulah jalang tanpa nama
Kehilangan keyakinan menjadikanku antagonis
Tak masalah apa aku penguasa atau jelata
Di akhir, nama pun tak akan terjual sepicis

Begitu inginnya aku berada di dekat pohonmu
Berdansa, melayang-melayang bersama angin
Dalam patriku, seribu janji takkan kulupakan
Kubawa demi mencari penebusan diri padamu

Keazalian tiada membuat hidupku berarti
Untuk terus berlari, dari derita dan curiga
Walau kupersembahkan sarwa harta dan raga
Tetap saja momen terkutuk ini terulang kembali

Sayang, biar malam ini berlangsung
Seumur hidup. Aku t'lah menunggu ini
Selama sayap hitam menjelma pupa--
Tempat tangismu merah dan rambutmu putih

Inginku menjadi budak sangkala sekali lagi
Untuk bisa merasa hidup dan mati sekali saja
Inginku mencintai-Nya melebihi para gembala
Agar dapat merasai senampan buah karma

Maka tolonglah aku agar bisa terbangun
Dari putaran-waktu yang amat menyesakkan
Dan puspa beracun di ujung tenggorokan
Bersama gagak-gagak penjerat tangan

Biarlah nisanku tak menyisa raga dan nama
Sebab akulah pengembara yang terlena
Biarkan kesadaranku sadar sesadar-sadarnya
Tanpa perlu tangis, sesal, ratap, dan duka.

Sekali lagi, siapa yang sudi membebaskan
Selain pengharapan dari relung keputusasaan?
Telapak kaki melepuh di atas permafrost asura
Sayang, bibir telanjur terjahit benang laba-laba

Adigangku menjemu, berdiri pun tak lagi sanggup
Penghakiman t'lah tiba, manakala mair menyusup
Epilogku serupa ketaksaan dari pilihan siksaan
Tak ada pengorbanan, hanya ada perpisahan

Satu-satunya kuasaku hanya atas harga diri
Yang makin redup. Kini tinggal memungkasi
Diri sendiri dan menyiapkan pesta raya
Atas kematian diriku, nara nirnama

[Banyuwangi, 18/03/18]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang