89| Katarsis

200 17 0
                                    

Tidak ada yang memintamu untuk tinggal. Di tempat di mana hampir semua orang menghindarinya, kita masih menyelam dalam gelap untuk menemukan cahaya. Terkadang di tengah jalan, kita masih berpikir bahwa peluang untuk bisa keluar dari labirin adalah nol mutlak. Berjalan sendiri membuat kita sadar, apa salah satu ketakutan terbesar yang bisa diselundupkan dalam hati manusia.

Kita menyaksikan semuanya dari awal hingga akhir, tak pernah sekalipun mata kita gagal untuk memanifestasikannya kembali ke dalam minda. Refleksi demi refleksi kita lalui, dan kita masuk ke dalam bagian labirin yang dipenuhi cermin. Kita berteman dan bermain dengan pikiran-pikiran kita, hingga sampailah pada tahap di mana kita mulai mengenal sisi lain dari diri kita sendiri.

Awalnya sepele, seperti bisikan kecil di dalam pikiran, atau tawa dan tangis di dalam kekosongan. Lama kelamaan pikiran kita memanifestasikan suatu sisi lain dari topeng yang kita pakai. Ia datang pertama kali dalam bentuk monolog, kemudian pengaruhnya berangsur-angsur mengingkat pesat.

Di dalam dunia di mana yang aneh akan diabaikan, ia dengan cepat akan bersarang di dalam setiap prasangka dan prediksi orang yang mempunyainya. Kita akan belajar untuk mempercayainya, sedikit demi sedikit, baik dari luar maupun dalam. Ia beberapa kali bersifat kontradiktif, menyindir yang baik dan memuja yang jahat, dan sebaliknya.

Sejengkal demi sejengkal, kita akan mengikutinya ke titik nadir. Sedikit demi sedikit dan tanpa disadari, kita mulai bertindak sesuai apa yang ia inginkan. Namanya akan muncul ke permukaan begitu seseorang mulai berbisik-bisik di belakang layar dan merambat ke mana-mana. Ia akan berbisik di setiap langkah yang kita niatkan ke tengah-tengah manusia. Kita hampir yakin bahwa kita bisa merasakan beberapa orang yang memberikan tatapan kasihan sementara yang lain memberikan tatapan jijik.

Butuh lebih dari satu orang untuk membangunkan kita dari delusi yang nyata. Jika kita benci untuk dibenci, ia akan berusaha memutus semua koneksi yang ada, menutup semua pintu dan jendela. Hingga sampailah kita pada tahap di mana tidak ada manusia yang bisa memahami apa yang kita rasakan.

Ia memakai topeng untuk menyembunyikan wajah sebenarnya, tiap suku katanya serupa suapan makanan manis yang ditaburi tetes racun. Ia menggiring kita untuk menjustifikasi segala aksi yang kita lakukan dan menolak segala reaksi yang kita terima dari luar.

Ketika kita disadarkan dari kesalahan logika dan insensitivitas, ia masih saja menghantui kita dengan tantrum dan ratap. Mereka, yang berada dalam lingkup cahaya, meminta kita membuka lebar-lebar tiap jendela dan pintu suaka kita. Mereka meminta kita menurunkan tatapan menjalang itu dan meminta kita tersenyum. Mereka meminta kita melunakkan ekspresi dan berhenti menitikkan air mata. Mereka meminta kita untuk mengeluarkan semuanya dan merobek habis tabir pembatas.

Untuk pertama kalinya, kulit kita terekspos cahaya matahari, perlahan kita mulai meninggalkan cangkang yang telah kita ukir dengan rapi. Pada awalnya terasa membakar dan mengigit jauh ke dalam tubuh, tetapi kita mulai belajar. Belajar memulai dari awal. Meski ada beberapa orang di kejauhan yang menertawakan kita. Meski masih ada orang yang belum memahami alasan dibalik aksi kita. Meski ia masih lengket di dalam tubuh kita.

Senyum kita sumringah, alis mata kita terangkat. Dengan demikian kita merasa lebih leluasa, dan kita katakan pada dunia bahwa kita sudah terlahir kembali. Beberapa orang mengamininya. Kita masih tersenyum, terbata-bata, terpincang-pincang, menuju pelukan cahaya dan langit biru. Kita berputar sebentar dan menundukkan tubuh seraya tersenyum pada ia. Ia, yang kini menjadi abu di bawah bayangan kita. Kita tersenyum dan kembali berjalan menuju cahaya, selamanya.

[Banyuwangi, 22/02/18]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang