95| Penitensi

162 6 0
                                    

I. Menghamba

Kaulah Tuanku, sayang, dan akulah budak-Mu
'Kan kuantre selaksa detik di depan harem-Mu
Dengan sabar kupatri nama-Mu di almanak relungku
Memburu pusu-pusu cemburu selagi aku menunggu

Kautanya di ketinggian indraloka azura
Ke mana saja kugondol kesadaran raga
Kujawab dengan menyapa para pelayan
Milik-Mu, di atas ranah yang diwariskan

Tiada senyum. Kutunjukkan dwisaksi dari kirana
Selagi kutilik lapis abhati netra mutiara mereka
Dan Bejana Mair sendiri, menungguku berbicara
Sebab sudah Kauketahui seluruh rahasia beta

Tenunan fantasi majenun, penghambaan nara-nara
Tunjukkanlah padaku hal-hal yang tak kumafhumi
Akulah kitab yang terbuka, Kau tinta kalamnya
Mainkan skenario-Mu, kulayani dengan pasti

Daduku legam, pionku hitam, mejaku suram
Semua tahu tan'isku dilepuhkan agni pitam
Pada-Mu, rasa menjelma candrasa dwinetra
Dan tawaku asak getah di galeri linimasa

Kaulah Tuanku, sayang, dan akulah budak-Mu
'Kan kuantre selaksa detik di depan harem-Mu
Dengan sabar kupatri nama-Mu di almanak relungku
Memburu pusu-pusu cemburu selagi aku menunggu

Inginku agar Kautunjukkan deret kenisbian predestinasi
Kilas balik samsara, bulu serafim, api nirasap, seiris khuldi
Menyatu, mendua, menyeratus, menyeribu, menyamudra
Bersama-Mu. Peduli setan dengan mainan penyair--sangkala

Kautanya, puisi apa yang hendak kupersembahkan?
Kupalingkan wajah, kauminta pertanggungjawaban
Erupsi nelangsaku hendak berkuasa atas karsa esa
Maka kuberikan derau fragmen imanku yang tersisa

Lumatlah jika Kaulihat ada perkara dusta dari cinta buta
Dari insan nirnama, nyaris siap dibakar dan mengabu
Beritahu aku jika Kaukira ada kesilapan dalam neraca
Sebelum kusajenkan sepotong lidah merah kelabu

Ucapkanlah parabanku di seberang mikrotitian, sayang
Atau panggillah aku sesuka-Mu. Percayaku meremang
Pada papila-papila magma dan tiang-tiang berjenjang
Keputusan-Mu: palar atau akulah yang bakal dijerang

II. Menelangsa

Nelangsa, nelangsa, niranjangsana
Pun kukila-kukila senja di dirgantara
Hanyut paut dari nirwana awasangkala
Tirta netra lancut menempa tebusan dosa

Dikau menangis darah di depan singgsana
Dari sela-sela jemari, hidung, dan telinga
Keluar darah. Membasahi secarik sutra
Yang kaupakai. Merana, di singgasana

Padamu, ludah-ludah nara-nara terhina
Ditamparkan. Tiada ampun dan sukacita
Dikau diikat di antara pusu kayu-kayu bakar
Menunggu dipagut kawanan ababil dan camar

Inginmu menangis selaksa era selagi bisa
Sebelum direndam dalam segara sengsara
Dan dikau dihadapkan pada neraca dan perigi agni
Semua sepi. Tanpa nyanyi. Apa yang perlu disesali?

Dikau, pria tanpa nama di depan takhta
Mengapa dikau mencabik lidah sendirian?
Nikmat yang manakah yang kau dustakan?
Seberapa jauhkah dikau dari Sang Gembala?

Padanya dikau takut, memungut renjis kalut
Padahal dikau senadi, senetra dengannya
Kenanga layu dan ratapmu belum sempurna
Hingga rayap merayap menelanjangi lutut

Nelangsa, nelangsa, niranjangsana
Pun kukila-kukila senja di dirgantara
Hanyut paut dari nirwana awasangkala
Tirta netra lancut menempa tebusan dosa

III. Memungkasi

Kepadamu aku hanya bisa bertanya-tanya
Laiknya anak kecil, terterungku jeruji aksara
Alibi dan justifikasi, terpungkasi dan merugi
Kelima indraku berbicara mengenai diri ini

Hanya Mair yang memisahkan kita berdua
Walau aku tak pernah sekalipun meminta
Diembuskan, substansiku, oleh napasmu
Hingga para pelayanmu menutup napasku

Katakanlah, selagi kuambil napas terakhir
Apakah diam lebih baik dari sedu dan tawa?
Bagi yang terpilih, betapa bahagianya mereka
Bersama pelayanmu, menyanyi di atas takdir

Yang lain mungkin mengatakan kau senadi
Sementara mereka menatap langit dan batu
Seraya menangis sesenggukan, mengutuk diri
Sebelum berpulang pada ketiadaan ruang-waktu

[Banyuwangi, 27 April 2018]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang