63| Hikayat Sang Naga Pendosa

262 15 2
                                    

Dirgantara, batas terutas tiada sempurna
Satu naga pendosa, mencerca pendar rawi
Sisik legamnya terkelupas gelenyar sinar
Mindanya lenyai kian tertampar-tampar
Presensi kesadarannya, dikawani rasi aswini
Skleranya menilik kerlip manja galaksi

Sayap semi-transparannya hendak menganju bermanuver
Laiknya membran kupu-kupu, kepaknya kian santer
Namun malang, turbulensi dan vibrasi telanjur meradang
Mengoyak bahu, melabrak bisu, menyerak visi palsu

Sang naga pendosa tercebur dalam galeri-gemintang
Semakin dalam, semakin garang, semakin gamang
Terbakar rajaman baskara, terhenti kebekuan ruang hampa
Supernova--itu yang melontarkannya menuju mayapada

Telah diarunginya delusi mimpi yang pergi dan kembali;
Kawanan kolosal berkerumun di kaki ancala
Sanak famili yang menunggu di sebuah praja
Seorang kawan menawan yang setia membelanya

Angannya berkawan dengan kesemuan jenjam
Mahafana. Hanya dendam kesumat yang terpendam
Lalu realita penderitaan berkuasa di atas segalanya
Membuat orang tersaruk, terpaksa, dan terlunta
Demi impian kekanakan bagi terlaksanya utopia
Membatinlah sang naga pendosa dengan heran
“Berapa banyak yang menjanda sebab palagan?

Mimpinya mendobrak jeruji dimensi bersumbu tiga
Taman, titian jembatan, dan pohon terlarang teratas
Bayang rekannya, kakeknya, dan leluhurnya
Segara segala tesis, antitesis, dan probabilitas

Jam pasir merilis deras, menyiagakan moncong laras
Kesadarannya semakin terbenam, asanya nyaris terkuras
Menuju kilasan masa silam, dengan tempo yang dipercepat
Kulminasi cresendo menusuk telinganya, ia pingsan sesaat

Kor serafim melaungkan rekuiem tanpa jeda di ujung nirwana
Malaikat ‘Tian, terbayang menghadang di gerbang kebebasan
Tiap detik yang ia rasa memaksanya untuk tiada menghamba
Pada ‘Tian, ia ucapkan, “Tidak hari ini--saya bukan tahanan.”

Kesadaran yang semula menguap menuju Elisian
Kembali meremas kail seluruh indra hingga siuman
Sang naga pendosa menilik hujan meteor yang tinggal seinci
Mengharap penebusan atas dosa yang urung tereliminasi
Dari pelupuk netranya, hadir buih-buih darah dari celah
Dari sebilah lukanya, ia gerah diredah tanpa arah

Di sinilah--di mana ia mulai percaya dengan konstruksi Ilah
Satu-satunya konklusi hakiki yang tak bisa ia bantah
Bahwa mungkin takdir di titik nadir masih bisa diubah
Dan demi apa pun, sebelum riwayatnya terpungkasi sudah

[Banyuwangi, 14/07/17]

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang