Tamat.
Peluru berkarat
Menghunjam ulu hati
Sang nirnama t'lah terpungkasi.Seratus lembar kosong terbakar
Dekat raga kakunya
Menatap alkamar
NetranyaKalut menjalar
Cur! Darah muncrat
Di atas tebing tuaDengar!
Kertak altar
Waktunya 'lah tiba
Menguap kesadarannyaLihat!
Lamat-lamat
Raga 'nya diterungku
Menuju ke gurun-saljuKor bayu-salju melinting huma-bardi dan bumantara
Dari hibernasi, bangkit deret nada crescendo baheulaCanting mantra terlaungkan di semesta trimatra
Pohon amarta menggugurkan puspa terakhirnya
Laiknya megareseptakel, dilibas binar senar biolaMembentur muka selimut salju mahkota puspanya
Berderak, lalu pecah ke empat penjuru mata pawana
Menebar aroma bawang beku, menyaru dalam bayu biru
Hingga kuncup liniamarta merekah di tengah puspa sayuSepal puspa melayu bersama petal-petal pancarona
Lantas ovarium meluruh dan menyisa pupa esa
Degup dan denyut terasa, tak mengada-ngada
Berderis selaput pupa, desar mengangkasa
Seorang 'nusia dewasa keluar terngangaSang 'nusia merayap dari kuncup yang terpreteli
Darinya hadir sepasang bola netra bercorak kelam
Lelehan lateks melumuri kepala hingga ujung kaki
Raganya segera diangkat sekawanan kukila legam
Diikat benang laba-laba di tangan kanan dan kiri
Nirparuh kafi, melayang bala gagak-gagak hitamSang 'nusia terkurung relung, menjadikannya tahanan
Darah menetes dari sklera kawanan berbulu obsidian
Dulunya mereka sering 'kali mematuki salib dan nisan
Urat nadi sang 'nusia tercekik belitan benang belian
Pada cakar-cakar gagak terkutuk nadinya dilekatkan
Tapak kakinya perlahan melepuh di atas lapisan intan
Bagi sang 'nusia, Mair hanya ingin bermain-mainSang 'nusia tak bisa terbang, ia selalu menganju
Badai es menyusun berlusin-lusin peluru salju
Selama selaksa detik, terkoyak kulit pucatnya
Ia tidak diperkenankan bertanya pada minda
Seberapa jauh ia akan melayangkan pandang
Maka ia teruskan langkah menuju persilangan
Dengan kompas kalbunya yang lama terlupakan
Tiliknya membentur kuburan yang beku-kerontangSuaka tali gantung dan ayunan tua dari tali gantung
Sembilan puluh sembilan nisan hadir di hadapannya
Satu pohon raksasa terbakar di tengah kuburan tua
Tak kunjung padam, walau salju kian menggunungSang 'nusia menatap kawanan kukila yang mengepung
Dengan gigi geraham, dipagutnya dua benang sutra
Sekali lagi, luka bernanah aurum dari nadinya terbuka
Lalat-lalat kelaparan di sekitarnya menyerbu sekilatanMerengkuh angkasa, kawanan gagak lepas dan membusung
Lantas meledaklah mereka jadi bulu berdarah yang limbung
Darah berderai di atas kuburan tempat nara mati bernaungDari dua sisi pipi sang 'nusia mengalir tirta netra sepusu
Selagi ia meratap dan mengesot menuju pohon layu
Berselimutkan bulu-bulu hitam dan lapisan saljuSang 'nusia menatap getir di bawah batang pohon raksasa
Jemarinya berusaha menyentuh salah satu bulu akarnya
Kala ujung telunjuknya menyentuh akar dengan payah
Agni asura menyelaputi sarwa raga lemah-mungilnyaSatu per satu helai rambut sang 'nusia berubah semerah darah
Dari abdomennya, pasir keluar dan meremah selagi ia merebah
Meregang atma, sarwa raganya lumer jadi sekubang pasir kali
Daya hidupnya lenyap, badannya tak lagi bersisa di atas tanahSang 'nusia nirnama, menyamudra di ketinggian duri
Bersama mandalika, kuburan, baskara, candra, dan bumi
Sang 'nusia tanpa rumah, tidur dalam suaka pengharapan
Bersama semesta ia menunggu untuk dibangkitkan kembaliBetapa ia ingat lamat-lamat: sebuah lullabi kecil dalam buaian
Tentang para perawan yang mengurai embun-embun pastura
Kini sesalnya membasi, tiada sedu sedan yang meniadakannyaBetapa ia ingat lamat-lamat: sebuah lullabi kecil dalam buaian
Sebelum dunia dan pendewasaan membunuh sarwa impiannya
Semua berjalan cepat, tanpa sekerat apologi atau sekilat parakBetapa ia ingat lamat-lamat: sebuah lullabi kecil dalam buaian
Tentang para perawan yang mengurai embun-embun pasturaYang tersisa dari mindanya melaungkan sesal sesesal-sesalnya:
"Wahai yang ada tanpa diadakan, sungguh rapuh minda dan ragaku
Tiada lagi asa dan karsa untuk berjuang dan memalsukan ekspresi
Di tanganku, tetesan darah yang terecer masih menanti penghakiman
Maka pangkas aku dari eksistensi, maka sarwa dunia akan bersukacita."Sekepul spirit azura menuruni angkasa, diikuti spirit-spirit lainnya
Selagi ia meratap, "Pungkas, pungkasi sarwa derita dan kutukanku
Ajarkanlah aku doa kali ini saja, untuk mereka yang pernah kusakiti
Dan lihat tangis anak dalam raga dewasa ini, menunggu penebusan
Selamatkan aku dari diriku sendiri, maka nelangsaku akan meniada."Spirit-spirit pancarona, mengidungkan napas penebusan bagi dirinya
Mandalika terselaputi kor amarta, melepas sang 'nusia dari terungku
Dan dikatakan padanya, "Bangkit, dan ikutlah dalam nyanyi harmoni."
Demikianlah ranting-ranting kering memekarkan puspa keputih-putihan
Sebelum dirinya dilahirkan kembali sebagai salah seorang dari mereka.[Banyuwangi, 27 April 2018]
===
Dari semua puisi yang saya buat di sini, bagi saya puisi ini yang paling tersulit.
Omong-omong, terima kasih banyak sudah mau menunggu sedikit lebih lama untuk kelanjutan kumpulan puisi absurd ini. Nggak terasa sudah sekitar tiga tahun lebih saya bawa kalian dalam roller coaster ini. Saya sendiri kaget waktu melihat perkembangan tulisannya, dari yang kesannya rada childish jadi semakin mature. Semuanya nggak lepas dari saran dan kritik yang kalian berikan. Jadi sekali lagi, terima kasih banyak buat dukungannya.
Apa saya akan berhenti menulis sampai di sini? Tentu tidak. Draf-draf di laptop saya masih banyak yang belum direvisi sejak bulan kemarin, dan proyek-proyek lainnya masih ketunda sama yang satu ini.
Terima kasih pula untuk Adiksi, yang semangatnya selalu membara untuk orang-orang di sekelilingnya. Semoga ke depannya tetap mengangkasa sekaligus membumi.
Salam sastra Indonesia untuk kalian semua! Semoga karya saya bisa menginspirasi kalian untuk menghasilkan lebih banyak karya-karya yang berkualitas, bukan sekadar mempertimbangkan kuantitasnya saja. Sebab saya percaya penulis yang hebat tidak hanya menghasilkan lebih banyak pembaca, tetapi menghasilkan penulis-penulis hebat lainnya.
Akhir kata, DPBH selesai sampai di sini. Terima kasih dan sampai jumpa!
P.S. barangkali ada yang mau tanya-tanya silakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derai Hujan Pasti Berhenti
Poetry[Kumpulan Puisi dan Sajak] Derai Hujan Pasti Berhenti adalah buah pikiran dari refleksi, keyakinan, harapan, dan kontemplasi, bahwa tingkat kesusahan berbanding lurus dengan kemudahan. Atas dasar inilah, penulis mengangkat berbagai premis yang abstr...