77| Nirnama

330 19 2
                                    

Akulah sang nirnama yang kautakuti presensinya
Tanpa intuisi hati dalam misi menuju penebusan
Di bawah darah Ibu Alam dan tangis Angkasa
Miasma napasku, azura netraku, legam rupaku

Puspaku meluruh, mencipta kambuh, meraba
Sisa-sisa nyawa. Di antara lembar dua dan tiga
Tidur bersama para malaikat dan syaitan sekalian
Menjelma konstelasi yang gugur di pekarangan Tuhan

Menopang juang, menantang hulubalang di atas jurang
Sendat nyawaku meronta di tangan-tangan penghabisan
Pada akhirnya aku 'kan berpulang pada altar kenangan
Di langit jauh. Tempat segala pendosa mengenang riang

Selama ini aku kian disamakan dengan monster
Yang sering diceritakan orang tua pada anaknya
Di malam musim dingin, di seberang taman aster
Untuk mendistraksikan mereka dari neraka dunia

Pada kulitku ada bercak darah yang takkan hilang
Meski dengan seluruh parfum di seberang Sahara
Pada mentalku ada luka yang takkan tertebang
Meski dengan segala variasi wahana agama
Maka, masih maukah kamu mengenang?

Maukah kau melakukannya denganku
Mengobati luka, mengubah takdir
Maukah kau melakukannya tanpaku
Teguh pada intuisi, setia pada renjana

Hanya sekali seumur hidup yang kumimpikan
Afsun lamunmu membius nyaris tiap pejantan
Hanya kau terungkuku yang sedia menampung
Segala kegelapanku. Menuju kedalaman palung

Yang kuingin hanya hujan yang menyejukkan
Dan merembes ke sela-sela tulang-belulang
Yang kuingin hanya bermimpi dan berlarian
Di atas pastura menyanyikan lagu usang

Ini mimpiku, sekali untuk selamanya
Sekali seumur hidup, sepanjang rindu
Penjala mimpiku menamatkan windu
Tanpa dekorasi dan ditinggal berdebu
Jaring-jaring ini terlonggarkan ikatannya
Dan membiarkan mimpi buruk masuk lagi
Sedikit demi sedikit pasti akan menghalangi
Binar suam baskara dan percik cahaya candra

Namun ragaku kini aku dicucuki dan dilucuti
Menuju hukuman yang selama ini menanti
Kedatanganku. Di tiang ini aku tak meratapi
Sebab temponya habis sudah. Bagi diri sendiri

Aku: terkejar, terbakar, terlempar, tergelar, terkapar
Dipecundangkan, dipermainkan, disumpalkan
Merentang, menegang, meregang, menggenang
Diludahi, dicacimaki, diserapahi, dan dipungkasi

Katamu atmaku tidak akan utuh tanpa nama
Dan takkan pernah bisa meninggalkan bentala
Sampai utuh sepenuhnya. Namun terkaanmu
Sekali ini salah. Kematian berdansa denganku

Sebab jasadku ditekan kedalaman samudra
Dan dibakar jadi abu oleh kobaran api azura
Tiada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu
Maka, inilah kepulanganku. Maka, tunggulah aku.

[Banyuwangi, 18/11/17]

Author's Note:

Ini puisi terakhir yang bisa saya bisa berikan tahun ini. Selanjutnya, saya akan hiatus untuk beberapa bulan untuk bisa fokus ujian. Terima kasih banyak dan sebesar-besarnya untuk dukungan kalian semua. Tanpa pembaca setia, kumpulan puisi murahan ini tidak akan berharga. Semoga puisi-puisi murahan saya bisa bermanfaat dan memberikan sudut pandang yang lebih luas. Sekali lagi, terima kasih banyak. Kiitos!

Derai Hujan Pasti BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang