Deskripsi Tempat by Stefani Jovita

3.5K 153 5
                                        

Terkadang, mungkin kita malas mendeskripsikan tempat, apalagi tempat itu yang sudah sering kita jumpai di masa kini: kelas, sekolah, rumah, toko, jalanan, dan lain sebagainya. Ruangan sebesar berapa kali berapa juga kayaknya males kita baca (atau aku aja mungkin. Heheh). Apalagi kalau lihat tumpukan paragraf berisi narasi panjang yang berturut-turut. Udah puyeng duluan mungkin liat gemuk-gemuknya paragraf itu.

Nah, di sini aku mau ngajak kita latihan salah satu teknik pembuatan deskripsi tempat yang "agak" detail, tapi masih cukup ringan untuk kita baca, yaitu dengan mencampurkan tindakan dan perasaan tokoh ke dalam deskripsi tersebut..

Berikut beberapa tips untuk melakukannya:

1. Hubungkan kelima panca indera tokoh dengan lingkungan: Mata dengan pemandangan, telinga dengan suara, hidung dengan bau, kulit dengan cuaca, dan lidah dengan apa yang dimakan. Gak perlu semua, tapi usahakan lebih dari satu. Apalagi mata. Kebiasaan kita, terlalu sering pakai mata doank buat deskripsi, dan itu bisa bikin deskripsi detail jadi ngebosenin.

2. Jangan ditumpuk. Kadang, pembaca itu ngeliat tebelnya paragraf yang monoton atau hampir sama, bisa jadi bete duluan, apalagi panjang-panjang semua. Ini buat pembaca novel ringan yah. Kalo yang demen baca novel terjemahan atau sastra sih gpp. Cuma, ada baiknya diselipi dialog atau paragraf singkat.

3. Biasakan menggunakan kata kerja. Coba hindari semacam "Siang ini, langit begitu biru/cerah." Kan suka tuh liat yang macem begini di awal-awal tulisan pemula. Cobalah menggunakan kata2 lain seperti: "Tidak ada awan yang menutup matahari siang ini."

Bukan berarti gak boleh pakai yang kata sifat, karena toh itu sederhana. Hanya saja, hari ini kita coba latihan pakai 3 cara itu dulu yah :)

----------------------

Contoh deskripsi tempat dengan tema #Historical Romance:

Titik-titik air hujan mengetuk payung putih Mikoto dengan berisik. *Geta kayu yang dipakainya mencetak tanah becek setiap kali lewat. Namun Mikoto terus berlari dalam senyum di jalan Kyoto yang sepi.

Bagaimana tidak? Sebentar lagi, dia akan bertemu dengan Tuan Kyosuke, pria yang menjanjikannya cinta dan kebebasan dari Distrik Merah.

Mikoto menggenggam erat kertas penunjuk arah hingga mengerut. Dinginnya musim gugur memaksa tangan itu gemetaran, tapi ia tak peduli. Setelah menikung ke kanan sekali lagi, Mikoto akan menemukannya.

Geta Mikoto berhenti menapak tepat setelah berbelok. Tak disangkanya, ia menemukan punggung seorang pria berkimono hitam di depan salah satu rumah. Ia kenal punggung lebar tapi lembut itu.

Mikoto tersenyum lebar. "Kyosu—!"

Belum sempat panggilan itu selesai, mata cokelat Mikoto menemukan seorang wanita di depan Tuan Kyosuke. Wanita itu tertawa kecil dengan tangan menutupi mulut secara anggun. Derasnya air hujan mencegah Mikoto mendengar apa yang mereka bicarakan. Di dalam hati, ia masih berharap pria itu bukanlah Tuan Kyosuke.

Namun, pria itu berbalik.

Tuan Kyosuke berbalik.

Tuan Kyosuke tersenyum padanya.

Ah, senyum itu. Aku sudah tahu sejak dulu.

Itu senyum iblis.

(175 kata)

*Geta: Sandal Jepang.

-----

Serba-Serbi KepenulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang