75. Time

1.9K 312 49
                                    

Serial SHALIH SQUAD Jr. - 75. Time

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2018, 7 Februari

-::-

Malam jam delapan, Hamas tiba di rumah. Fatima yang membukakan pintu. Keduanya menuju ruang keluarga, di mana Khalid dan Khansa sedang bermain dengan mainannya masing-masing.

Khansa usia tiga tahun dengan jejeran bonekanya, dan Khalid usia lima tahun bersama deretan pesawat tempurnya. Yeah, terkadang pesawat tempur menabrak boneka.

"Udah makan, A?" tanya Fatima ketika Hamas duduk di sofa yang ada di sana.

Tidak langsung menjawab, Hamas memilih untuk meluruskan kakinya dan menempelkan lehernya ke sandaran sofa. Dasinya, yang sudah melonggar, menjuntai mengenai dasar sofa.

"PAPA!" panggil Khalid dengan semangat.

"Hm," respons Hamas. Kedua matanya masih terpejam. Di kantor sedang ada sedikit masalah sepertinya.

"Papa! Ini pesyawatnya bisya terlbang lho!" Khalid mengangkat mainannya tinggi-tinggi.

Hamas menegakkan lehernya, mencari keberadaan Khalid.

"Oh iya," kata Hamas, menanggapi kalimat anaknya.

Fatima sudah tidak lagi di sana, sedang ke dapur mengambil minuman hangat untuk suaminya.

"Papa, cantik ya?" tanya Khansa, memperlihatkan bonekanya yang mengenakan hijab. "Kayak Mama?"

Hamas mau tak mau tertawa. "Mama kamu lebih cantik ke mana-mana dari itu, Sa..."

Tapi Khansa mana mengerti. Baginya, boneka ini cantik dan Papa harus setuju.

"Tapi Mama biyang ini cantik, Papa..." kata Khansa nyaris menangis.

Hamas menempelkan leher belakangnya ke sandaran sofa lagi. Rasanya penat.

Fatima kembali dengan segelas teh manis hangat. Hamas membuka matanya, dan duduknya langsung tegak. Dia mengambil teh manis itu dan menyeruputnya perlahan.

"Aa Khalid, itu kok keretanya dilempar ke sana?" Fatima memungut satu gerbong kereta mainan yang terlempar agak jauh dari rel.

"Ditarlbak kereta, Mah!" sahut Khalid.

Fatima tertawa, lantas beralih pada Khansa yang kini menyusun bonekanya membentuk lingkaran.

"Bonekanya lagi apa?" tanya Fatima pada putrinya.

"Dengel celamah..."

"Kayak Teteh sama Mamah?"

Khansa mengangguk, "Iya, Mah..."

Fatima tersenyum, mengacak rambut Khansa dan mengecup keningnya. Kepalanya mendongak dan mendapati Hamas sedang menggenggam ponsel serta fokus ke sana.

"Pah," panggil Fatima, pada Hamas, suaminya.

Iya, Fatima akan memanggil Hamas dengan sebutan Papah juga seperti dua anaknya jika tujuannya adalah tentang anak-anak.

Dan yang barusan itu adalah panggilan kode yang harus dipahami Hamas. Bahwa ketika bersama anak-anak, sebisa mungkin tidak bermain ponsel sama sekali.

Dan Hamas paham yang barusan itu. Jadi dia meletakkan ponsel di atas meja, menarik tubuhnya agar mendekat pada Khalid. Dia bahkan belum menyapa anak-anaknya yang sibuk bermain.

"Jagoan Papa lagi ngapain sik tuh?" Hamas memeluk Khalid dari belakang, menciumi kepalanya.

"Pesyawatnya tarlbak kereta, Pah. BUM!!!"

"Lah kok ada bomnya?"

"Medak!" komentar Khansa. Fatima tertawa geli di sampingnya.

"Meledak, Papah..." kata Khalid, masih seru sendiri.

"Pah, tadi Aa MasyaaAllah hebat pisan..." kata Fatima tiba-tiba.

"Hebat? Anak Papa hebat kenapa?"

"Jagain Teteh, Mamah lagi angkat jemuran," ucap Fatima.

"Iya?" Hamas merunduk, mengguncang tubuh putranya. "Siapa yang kasih Aa hebat nih?"

"Allah!" seru Khalid, riang. Rasa percaya dirinya bertambah setiap kali mendengar kebaikannya diceritakan.

"Anak Shalih..." kata Fatima, mengusap kaki Khalid dengan penuh kasih sayang.

"Pah, terlbang, Pah!" Khalid merengek minta digendong di pundak Papanya.

"Papa capek," Hamas pura-pura menolak.

"Nanti Allah kasih kekuatan," kata Khalid lagi.

Hamas tergelak, lantas dalam hitungan detik, tubuh Khalid sudah berada di pundaknya. Hamas berjalan berkeliling ruangan tempat mereka menghabiskan waktu bersama.

Khansa dan Mamanya tak mau kalah. Menempel di punggung Fatima, Khansa bergerak juga. Mengejar Khalid yang mengangkat kedua tangannya dengan suka cita, sebab merasa paling tinggi di antara yang ada.

Ya, ponsel diharamkan untuk dimainkan ketika sedang di dekat anak-anak. Dan Hamas kendati sempat protes, tapi toh akhirnya dia mengerti juga.

Fatima pernah berkata;
"Hapenya Aa ngga bakalan sedih kalau Aa ngga lihat-lihat dia. Hapenya Aa juga ngga bakal peduli kalau Aa cuekin dia walau seharian. Hape Aa ngga akan protes kalau ngga Aa sentuh sama sekali. Dan hape Aa juga ngga akan berubah kan? Tetep aja segitu besarannya. Tapi anak-anak kita?"

Kala itu, Hamas mengangguk.

Cukup dia yang diabaikan oleh Papi yang sibuk bekerja hingga larut malam dan sering tidak pulang. Cukup dia yang tak peduli atas luka di tubuhnya hanya untuk mendengar Papi marah-marah, sebab itu tandanya Papi meluangkan waktu di antara sela-sela pekerjaannya yang sibuk. Cukup dia yang berusaha mencari perhatian Papi dan Maminya dengan tawuran. Cukup dia yang jarinya nyaris terputus akibat perkelahian atas nama solidaritas sesama teman. Cukup dia yang memiliki seorang Papi yang meminta maaf padanya di Malam sebelum pernikahannya dengan Fatima, berharap mereka bisa mengulang waktu dan menghabiskan banyak waktu bersama.

Cukup dia. Jangan anak-anaknya.

[]

[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang