173. Belajar Memaafkan

877 182 23
                                    

Serial SHALIH SQUAD Jr. – 173. Belajar Memaafkan

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2019, 8 November

Note : Kalau ada typo, mohon diinfo ^^

-::-

Bapak Kahfi mematikan layar ponselnya setelah memberi kabar kepada istrinya bahwa ia sudah berada di depan sekolah anak-anak mereka.

Hari ini adalah satu dari sekian hari cuti Bapak Kahfi atas pekerjaannya setelah sang istri melahirkan anak kembar; Zahra dan Zeyara. Jadi tugas Bapak Kahfi menjelang Zuhur adalah menjemput Hanifa dan Jafar di sekolahnya pukul 11 siang, kemudian Hamzah yang bubaran sekolah pukul 12 siang. Biasanya mereka shalat Zuhur berjamaah dulu di masjid sekolah, baru kemudian pulang ke rumah.

Jafar terlihat keluar lebih dulu dari kelasnya. Tangan kanan Jafar melambai kencang pada sang ayah.

"Appa!"

Melihatnya, Bapak Kahfi balas melambaikan tangan. Jafar mengambil tangan kanan ayahnya untuk dicium dengan hormat.

"Assalamu'alaykum, anak shalih..." kata Bapak Kahfi dengan tangan mendarat di atas kepala Jafar dengan lembut.

"Wa'alaykumussalaam warahmatullaah, Appa. Bagi duit dong, Jafar mau jajan, hehe..."

"Jajan apa, Ganteng?"

Kesempetan emang si Jafar, kalau sama Umma-nya, mana dapet jajan pas dijemput.

"Itu, martabak telor!" Jafar menunjuk satu penjual di sebelah kanannya.

Tanpa diminta lagi, selembar uang sepuluh ribu keluar dari kantong Bapak Kahfi. Jafar menyambutnya dengan antusias, lalu bergegas ke penjual martabak telur yang dimaksud.

Tak seberapa lama, Bapak Kahfi merasa sesuatu menabrak tubuhnya. Seorang gadis kecil rupanya memeluk kaki Bapak Kahfi dengan tiba-tiba. Gadis kecil yang tahun ini baru masuk sekolah dasar; Hanifa.

"Assalamu'alaykum, anak Shaliha... Kok nangis?"

Bapak Kahfi melepas pelukan putrinya, kemudian berjongkok agar tinggi mereka sejajar.

"Kenapa, sayang?"

Sesengukan, Hanifa menyeka air matanya. "Penggaris aku dipinjem Ola, tapi abis itu jadi patah, Appa... Penggaris stroberi..."

Bapak Kahfi rasanya ingin tertawa, sebab Hanifa terlihat sangat menggemaskan dengan pipi dan jilbab yang basah begini.

"Hanifa kesel ya?" tanya Bapak Kahfi kemudian.

"Kata Umma, jangan dipatahin... Itu kan baru beli..." jawab Hanifa dengan tangisannya.

"Nanti bilang sama Umma ya, penggarisnya patah. Coba lihat, mana?"

Hanifa melepas tas sekolahnya, mengeluarkan penggaris yang dimaksud. "Tapi aku suka penggarisnya, Appa..." ucap Hanifa, menyodorkan penggaris bergambar stroberi yang kini sudah jadi dua.

"Hanifa pasti sedih ya, penggarisnya patah?" kata Bapak Kahfi. Dilihatnya Hanifa mengangguk. "Kesel ya sama Ola?"

Hanifa mengangguk lagi. Senyuman Bapak Kahfi melebar.

"Hanifa mau ngga maafin Ola?"

Dua bola mata Hanifa terarah pada sang ayah. Sejujurnya, dia kesal karena Ola mengembalikan penggaris dalam keadaan patah dan tanpa permintaan maaf. Sebab di rumah, Hanifa diajarkan untuk meminta maaf setiap kali melakukan kesalahan.

"Ola ngga minta maaf sama aku..."

"Mungkin Ola ngga ngerasa salah... Atau mungkin bukan Ola yang patahin, atau Ola ngga sengaja matahinnya. Tapi Hanifa boleh kok kalau mau maafin Ola. Apalagi kan Hanifa temenan sama Ola?"

Terdiam, Hanifa mengingat betapa baiknya Ola.

"Kalau Hanifa ngga maafin Ola, nanti Ola dihukum sama Allah karena udah bikin Hanifa kesel. Hanifa ngga mau kan kalau Ola dihukum sama Allah gara-gara Hanifa? Lagian, Allah sayang banget sama orang yang seneng maafin orang lain, apalagi temennya sendiri. Nanti, Allah kumpulin Hanifa sama Ola bareng-bareng di Surga. Mau kan ya ketemu Ola lagi di Surga?"

Hanifa melepas napas, membuang beban dalam hatinya. Di rumah, Hanifa juga diajarkan untuk memaafkan, terutama ketika Mas Hamzah atau Mas Jafar bikin dia kesal, atau Hafiza, atau dua adik barunya... Sementara teman-temannya di taman kanan-kanak dulu tidak ada yang pernah membuatnya kesal. Tapi Ola...

Tapi...

Ke Surga? Hanifa mau banget...

Jadi, perlahan Hanifa mengangguk. "Mau, Appa," ucapnya.

"Alhamdulillaah," Bapak Kahfi senyum hingga kelihatan gigi. "Nanti penggarisnya coba dilem ya. InsyaaAllah bisa dibenerin," tambahnya seraya mengecup punggung tangan putrinya. "Sekarang, mau jajan ngga?"

"Appa! Wuhuuu... Martabak telornya enaaak!" kata Jafar yang kemudian ikut nimbrung. Martabak telur yang dimaksud terlihat teracung.

Jempol Bapak Kahfi terangkat. "Abisin ya, Mas," ucapnya dengan raut senang. "Hanifa mau martabak telor juga?"

Hanifa baru saja hendak menggeleng, tapi malah menoleh ke belakang ketika namanya dipanggil seseorang.

"Hanifa!" panggil seorang gadis kecil dengan seragam sama dengan Hanifa. "Dijemput Papa kamu ya?"

"Iya, Ola," jawab Hanifa.

"Assalamu'alaykum, Ola..." sapa Bapak Kahfi pada tokoh utama percakapan mereka tadi.

"Wa'alaykumussalaam, Om..." balas Ola, kemudian beralih pada Hanifa. "Mamaku belum jemput. Hanifa enak ya dijemput papanya."

"Papanya Ola sibuk kerja ya?" tanya Bapak Kahfi.

"Papaku pergi ngga tahu ke mana, Om," kata Ola dengan wajah tanpa kesedihan sama sekali. "Kata Mama, ada Mama juga cukup kok."

Senyuman kaku Bapak Kahfi terlihat samar. "Hm, Ola mau martabak telor? Om beliin. Hanifa jadi mau?"

Dan gelengan yang tadi hendak Hanifa tampilkan, berubah jadi anggukan.

"Hayok, Ola, kita beli martabak telor."

"Ayok. Aku mau kecapnya banyak ya. Saosnya dikit aja!"

Keduanya bergandengan tangan menuju penjual martabak telur dan Bapak Kahfi terkekeh melihatnya.

"Appa! Jafar mau martabak lagi ya? Ini udah abis nih... Ini tadi kembali goceng..."

Bapak Kahfi menarik hidung putranya dengan gemas. "Iya, sana. Nanti masakan Umma tetep diabisin ya?"

"Siap, Bos!" jawab Jafar dengan gaya hormatnya yang lucu. Detik berikutnya dia berlari menyusul Hanifa dan Ola, sementara Bapak Kahfi mengekor dengan layar ponsel yang mulai menyala.

Hari ini, gadis kecilnya belajar memaafkan lagi.

[]

[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang