Serial SHALIH SQUAD Jr. - 82. Diingetin
Penulis : Uniessy
Dipublikasikan : 2018, 1 Maret
-::-
Zaid menutup jok motornya begitu apa yang dia cari dalam bagasi motornya sudah ia dapatkan. Baju olahraga. Selepas istirahat pertama di hari ini, kelasnya mendapat jadwal untuk olahraga di lapangan milik sekolah mereka.
Sekolah tempatnya menuntut ilmu dikenal dengan fasilitas sekolahnya yang amat sangat baik. Pun demikian dengan fasilitas olahraga.
Ada lapangan di dalam ruangan yang bisa digunakan untuk basket dan badminton. Juga lapangan futsal dalam ruangan yang biasa digunakan siswa untuk main futsal meski kelas telah usai, plus lapangan serba guna yang biasanya digunakan untuk upacara setiap Senin pagi.
Biasanya mereka olahraga di lapangan serba guna juga, sebab lapangan itu multifungsi. Bisa untuk main basket, sepakbola, tenis, atau pun badminton. Digunakan sesuai kebutuhan yang ada.
"Eh, Id, Id!"
Sebuah suara spontan menghentikan langkah Zaid yang hendak berbelok masuk ke lorong sekolah yang akan mengantarnya kembali ke kelas di lantai dua. Dengung para siswa dan siswi masih terdengar sebab jam istirahat belum usai.
Ada Dewi di sana, menenteng sesuatu dalam kresek di tangan kanannya.
"Manggil gue?" tanya Zaid.
Sepengetahuan Zaid, Dewi ini temannya Hanifa. Tadi juga ke kantin bareng Hanifa.
"Ya iya, ah kayak presiden aja lo," kata Dewi, mendekati Zaid secepat kilat.
Kaki Zaid terpaksa mundur demi jaga-jaga Dewi menyerangnya secara parkiran sepi dan hanya ada petugas sekuriti di depan sana. Agak jauh dari mereka.
"Ada apaan?" tanya Zaid.
"Lo nanti pulang sama siapa?" tanya Dewi kemudian.
"Lah, lo bukannya bawa motor tuh?" Dagu Zaid merujuk pada motor beat milik Dewi.
"Hih, ribet deh lo. Geer banget gue mau minta nebeng?" kata Dewi lagi. "Kaga bakal! Gue kaga maen naik motor butut begitu."
Zaid usaha kalem. Maklum, Dewi kan kaya raya.
"Terus?"
"Ajak Hanifa pulang bareng gih," kata Dewi.
"Lah? Ngapa jadi Hanifa?"
"Iiish, ribet ini laki satu ah!" Dewi terlihat gemas. "Si Jafar kan ngga masuk hari ini. Elu kan temennya Jafar, sohibnya. Elu anterin lah Hanifa pulang."
"Ngapa kaga elu aja?" kata Zaid, mulai sensi. Masalahnya, tadi itu kan dia udah nawarin, tapi ditolak gitu aja.
Pedih, jenderal!
Padahal niat Zaid ya biar Hanifa lebih aman aja. Ngga lebih.
"Dia ngga mau! Katanya ngerepotin gue. Arah rumah gue kan beda, hadeeeh... Toyor jugak nih!" kata Dewi lebih lanjut. "Lo kan bawa motor tuh, pas banget ketemu lo di sini."
"Dia mau ngangkot katanya." Zaid merapatkan punggungnya ke dinding sebab tiba-tiba Dewi mencondongkan wajahnya pada Zaid. "Weh, lo ngapain!"
"Gue kasih tahu ya," kata Dewi, terlihat makin serius.
Zaid celingukan, ngeri ada yang gap-in dia lagi begini.
"Lo tahu Wangsa kan? Iya, yang keren itu yang ganteng lah, anak basket. Seangkatan sama Jafar ah masa lo ngga tahu?!" kata Dewi.
"Apa hubungannya?" Zaid makin ngga ngerti.
"Tadi tuh dia nyamperin Hanifa di kantin," kata Dewi, menegakkan kembali tubuhnya. "Kayaknya dia naksir Hanifa deh."
"Lo kalah saing gitu?"
"Hanjir bacotnya Zaid sekata-kata!" Dewi mendelik. "Bukan gitu, broh. Tadi abis ganggu Hanifa di kantin, dia ganggu lagi Hanifa di kelas. Dia nyamperin ke kelas."
Di sekolah mereka, siswa perempuan dan laki-laki memang terpisah kelasnya, Meski berada di lantai yang sama. Mereka bertemu hanya di jam-jam istirahat atau jam olahraga jika mempunyai jadwal yang sama. Dan siswa lelaki dilarang berada di area kelas perempuan. Pun demikian sebaliknya.
DAK!
Satu tangan Dewi mendarat di dekat lengan kiri Zaid.
"Dia giniin Hanifa, Id. Lu tahu kaga, Hanifa pucetnya kayak apa? Dia sih kiatan aja kalem ye kan. Dalem hati pasti pucet," Dewi mulai sok tahu. "Pas Hanifa mau ngeles, satu tangannya Wangsa mampir---"
"Iya, iya, gue paham lo mau jelasin apaan," Zaid lekas mencegah satu tangan Dewi yang lain mendarat di dekat lengan kanannya.
"Lo paham juga kan Wangsa sebrengsek apaan?" kata Dewi. "Gue cemas nih sama Hanifa," Dewi mulai terdengar serius. Berdirinya kembali tegak, agak jauh dari Zaid. "Wangsa ini gue ngga paham kenapa bisa naksir Hanifa. Ya bukannya Hanifa jelek. Tapi biasanya Wangsa nguber cewek ganjen. Ah, gue tahu. Dia pasti abis nonton video bokep yang pemerannya anak kalem kayak Hanifa."
"Astaghfirullaahal'aazhiim..." Zaid lekas beristighfar.
Bagaimanapun, Zaid juga pernah mndengar ada sekelompok anak diciduk oleh pihak keamanan sekolah akibat membolos dari jam pelajaran dan malah asik nonton video bokep di belakang kantin. Tapi nama Wangsa ini sepengetahuan dia ya bersih aja dari masalah yang itu.
"Jangan nyebut aja lu," Dewi memukul Zaid dengan kantung yang ia bawa. "Awas kalau Hanifa pulang sendirian. Gue sunatin lo nanti."
Dewi melengos, berjalan menjauhi Zaid setelah menyelesaikan misinya untuk memberitahu Zaid tentang bahaya apa yang mengintai Hanifa jika gadis itu pulang sendiri.
Sementara Zaid, matanya mengerjap bingung. Teringat tadi Hanifa sudah menolak tawarannya untuk pulang bareng. Lantas, apa yang harus ia lakukan?
Dia tidak mungkin memaksa Hanifa untuk pulang dengannya. Bisa-bisa Hanifa malah jaga jarak karena curiga begini dan begitu.
"Ah, elah. Si Jafar ngapain pake ngga masuk sih!" dumal Zaid, seiring dengan bunyi bel di sekolah mereka.
Dia kembali berjalan memasuki lorong sekolah yang akan mengantarnya menuju tangga untuk ke lantai dua. Sepanjang jalan, Zaid menggaruk kepalanya, mengusir bingung yang masih menderanya.
[]
Lagian Dewi ngapain minta tolong elu dah. Berantem aja lo ngga bisa, Id 😑
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our Lives
SpiritualSeason One Apa aja sih yang terjadi di masa-masa SMP dan SMU yang menyenangkan?