161. Edisi Pemilu

990 138 18
                                    

2019 15 April
Bismillaah...
.
.
.

"Amma tahu ga, waktu di gedung DPR MPR, dijelasin kalau jumlah anggota dewan itu semuanya 560 orang?"

Pertanyaan Umar; putranya yang berusia 12 tahun, membuat Ibu Qanita mengernyitkan kening tanpa mengalihkan fokusnya pada tulisan-tulisan belanjaan di kertas di atas meja.

"Oh segitu ya jumlahnya? Amma ngga ngeuh juga."

"Iya!" ucap Umar. Suaranya mengeras, matanya melotot.

Ibu Qanita langsung menengok dan mendapati wajah Umar yang terlihat serius sekali.

"Jumlah anggota dewan segitu menentukan hidup rakyat satu negara, Amma! 200 juta rakyat Indonesia ditentukan oleh keputusan 560 orang anggota dewan!" tegas Umar, berapi-api.

Ibu Qanita menatap mata putranya. Tajam menghunjam. Rupanya ada yang sedang mengganggu pikiran si Sulung, pikirnya.

Jadi, Ibu Qanita menghentikan kegiatan menulisnya hanya untuk mendengarkan perkataan sang putra.

Umar kemudian melaporkan kunjungan belajar kelas SD 6 School of Life ke gedung DPR/MPR RI di bulan lalu.

Dengan saksama, Ibu Qanita mendengarkan laporannya. Bocah dua belas tahun itu menyebutkan tiga partai yang paling banyak mendapat kursi dewan.

"Amma tahu ngga, partai X kursinya sekian, partai Y sekian, partai Z sekian, partai C dll sekian..." Dengan lancar, Umar menyebutkan nama-nama partai yang menduduki kursi DPR. "PKS cuma dapat 40 kursi, Amma!"

Umar menatap mata sang ibu dengan tatapan tajam.

"Lha Amma ngga tahu jumlah kursi dewan dari fraksi PKS cuma segitu. Segitu ya, Umar? Dikit ya..."

"Itu terlalu sedikit, Amma! Kan DPR tugasnya bikin dan menetapkan undang-undang. Itu kan menentukan aturan hidup rakyat. Kalau suara PKS cuma 40, bisa kalah dalam voting. Itu partai X kursinya 150an. Padahal banyak orang ngga baiknya kan. Kan itu bahaya buat rakyat?"

Ibu Qanita jelas terkejut. Sama sekali tak menyangka bahwa putranya mengikuti perkembangan politik. Jujur, Ibu Qanita tidak terlalu suka bicara tentang dunia politik Indonesia dengan cukup detil seperti ini di dalam rumah. Karena, selain memang tidak paham, lagipua anak-anak masih kecil. Jadi agak kaget juga mendengar tuturan Umar yang cukup cerdas dan berisi.

Ibu Qanita terperangah. Kemudian teringat... Ini juga dibantu dengan program belajar di sekolah Umar yang menurutnya sangat bagus. Pelajaran PPKN diterapkan secara kongkrit. Ketika ia kelas 4 SD, pelajaran PPKN dipraktekkan dengan outing ke Gedung Sate Bandung. Mereka diajak berdialog dengan petugas di sana, agar paham bagaimana suatu negara diatur kehidupannya melalui sistem berpolitik. Di kelas 6 SD sekarang, mereka diajak outing ke gedung DPR MPR-RI dan diajak berdialog dengan perwakilan Humas dan fraksi partai di sana.

Memang sekolah yang Luar biasa!
Sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, memang.

Anak usia SD diajak membuka wawasan kebangsaan langsung dengan berkunjung ke gedung yang biasanya hanya bisa dilihat di TV.

Sang ibu tertegun.

Mereka berdua memang beda zaman.
Dahulu ketika rakyat di negeri ini melakukan banyak aksi, memprotes kepada pemerintahan, ya ke Gedung DPR MPR RI ini mereka beraksi. Ibu Qanita paling hanya lihat di TV.

Kini, di awal tahun sang putra di usia ke-12 nya malah kunjungan belajar berkeliling gedung dan bisa menjelaskan kepada Orangtua secara detil sejarah berdirinya gedung itu, sampai bisa menyebutkan luas area gedung dan proses terjadinya atap gedung yang khas itu.

[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang