Serial SHALIH SQUAD Jr. – 170. Making Sure
Penulis : Uniessy
Dipublikasikan : 2019, 16 Agustus
Note : Kalau ada typo, mohon diinfo ^^
-::-
Bubaran sekolah, Zaid menuruni satu per satu anak tangga dengan perlahan. Bukan kenapa-kenapa, sebab tulang iga sebelah kanannya masih menyisakan nyeri setiap kali dia melangkah. Makanya, boro-boro mau main panah...
"Sst," Ali menyikut Zaid sampai Zaid merintih kesakitan.
"Innalillaahi, sakit, Li!" omel Zaid seraya mengelus sisi kanan tubuhnya. Ali berjengit melihat Zaid kesakitan, lantas meminta maaf. Tapi kemudian dia menunjuk seseorang yang berdiri di koridor dekat pintu masuk ke arah tangga yang saat ini mereka pijak.
Zaid mendapati Hanifa di sana.
"Oh iya, pasti nungguin kotak makannya," ucap Zaid sembari melepas tas ransel dari punggungnya.
Hanifa melepas senyum begitu melihat Zaid dan Ali memisahkan diri dari kerumunan siswa lain yang sedang turun tangga.
"Ini, Han," kata Zaid, menyerahkan kotak makan kosong yang sudah ia cuci di tempat wudhu saat Zuhur tadi. "Makasih banyak ya, enak banget. Sampe abis."
"Besok banyakan, Han, biar bisa bagi-bagi," timpal Ali.
Hanifa tertawa. "Iya, insyaaAllah," ucapnya begitu kotak makan tersebut berada di tangan.
"Pulang sama siapa, Han?" tanya Zaid.
"Dianter Bilal. Ini sekalian nungguin Bilal turun," jawab Hanifa. "Zaid dijemput?"
"Ngga, hari ini mau mampir ke rumah Ali, ada tugas," ucap Zaid dengan cengirannya.
"Ya udah, hati-hati ya, Zaid," kata Hanifa kemudian. "Ali juga," tambahnya, tepat sebelum Ali berkomentar kenapa cuma Zaid yang dihati-hatiin. Hm...
"Kalau gitu, gue duluan ya," Zaid nyengir lagi. "Sekali lagi makasih buat buahnya."
Hanifa mengangguk lalu tersenyum sekilas. Ali dan Zaid baru hendak meneruskan perjalanan mereka ke gerbang depan, tapi langkah keduanya terhenti saat Ali menepuk keningnya sendiri.
"Id, bentar, gue ke kantin dulu, beli minum sama beli jajan buat Amira. Lo ke parkiran aja duluan yak!"
"Gue tunggu di sini aja," kata Zaid pada sahabatnya itu. Dilihatnya Hanifa masih berdiri di tempat tadi, menghadap ke arah tanaman yang ada di bagian depan tangga bawah.
Ali mengacungkan jempol, lantas berlari kecil di sepanjang koridor menuju kantin sekolah mereka. Dan Zaid, perlahan melangkahkan kakinya mendekati Hanifa yang tertunduk memeriksa catatan-catatan sederhana dalam ponselnya.
"Han," panggil Zaid kemudian. Kepala Zaid menoleh ke arah tangga, melihat kalau-kalau Bilal atau Khalid turun bersama, sedangkan siswa yang turun mulai menyepi.
"Ya?" balas Hanifa, menolehkan kepala, menurunkan ponsel yang masih dalam genggaman tangannya. "Kok balik lagi?"
"Iya, Ali katanya mau beli jajan dulu di kantin," kata Zaid yang mendadak bingung mau ngomong apa. Sampai sesaat kemudian dia teringat, pembahasan dirinya bersama sahabatnya yang lain waktu istirahat tadi. "O iya, mau nanya, Han..."
"Tanya apa?"
"Lo masih kepikiran sama yang waktu itu ngga sih?" tanya Zaid, melihat keadaan sekeliling dengan cermat. Cemas melanda, takut ada orang lain mendengar obrolan mereka.
Hanifa terdiam. Bagaimana bisa Zaid bertanya hal itu padanya? Jawabannya sudah pasti iya.
"Kenapa, emangnya?" respons Hanifa.
Zaid mengatupkan rahang, menghela napas pendek. Seingatnya, dia yang meminta Hanifa untuk meredam masalah ini, agar tidak dibawa lebih jauh lagi. Tapi dipikir-pikir, jangan-jangan Hanifa kepikiran terus...
"Ya ngga sih," kata Zaid, melirik tangga lagi, "takutnya lo kepikiran yang pas dia gangguin lo itu... Apa harusnya laporin dia aja ya?"
"Zaid bilang, jangan..." kata Hanifa. "Sekarang kenapa berubah pikiran?"
"Hm, gue cuma..." Zaid terbata, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Gue cuma khawatir lo terganggu aja.
Embusan angin di sekitar mereka membuat keduanya terdiam. Riuh rendah suara siswa dan siswi lain yang saling mengobrol, mengisi keheningan yang mereka ciptakan sendiri.
"Lo udah maapin dia kan, Han?"
"Kalau Zaid?"
Zaid mengangkat bahu, bingung diserang balik seperti ini.
"Maapin aja," kata Zaid. "Bapak bilang, maapin kesalahan orang biar Allah maapin kesalahan gue.
Dilihatnya Hanifa mengangguk. Dan anggukan sederhana itu membuat senyum tipis di wajah Zaid.
"Iya. Maafin orang bukan cuma tentang perbuatan baik, tapi juga tentang menyembuhkan luka ya, Zaid," ucap Hanifa dengan lengkungan senyum teduhnya.
Zaid tertawa, tak peduli iga kanannya nyeri setiap kali dia tertawa.
"Hehe, iya."
Tapi lengkungan di wajah Hanifa tak seberapa lama, sebab raut sendu menguasainya lagi. Ada kecemasan yang tidak bisa dia ungkapkan pada pemuda di hadapannya. Tentang bagaimana jika Wangsa masih menyimpan kesal dan ingin mencelakai Zaid lebih jauh lagi? Hanifa hanya tidak tega jika harus menambah beban pikiran Zaid akan kecemasannya yang terlihat mengada-ada. Sebab sejauh ini agaknya Wangsa cukup menjaga jarak dari mereka berdua.
"Weys, di sini ternyata," suara berat Khalid terdengar, menghentikan obrolan keduanya. "Udah dari tadi, Han?" tanyanya.
"Lumayan," kata Hanifa.
"Sori," ucap Bilal. "Khalid nyatetnya lama banget. Mau foto aja papan tulisnya ngga dibolehin sama Pak Akbar!"
"It's okay," ucap Hanifa pelan.
"Ya udah, yuk balik," ajak Bilal. "Lo nungguin siapa, bor? Nemenin Hanifa nungguin gue?" tanya Bilal pada Zaid.
"Nungguin Ali, lagi ke kantin beli jajan buat Amira," kata Zaid cepat. "Duluan aja, gue masih nungguin Ali."
"Jajan mulu itu bocah," komentar Khalid.
"Yowes," kata Bilal. "Assalamu'alaykum."
Khalid dan Hanifa mengucap kata yang sama, dan Zaid membalasnya dengan kalimat lengkap.
"Wa'alaykumussalam warahmatullaah wa barakaatuh."
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata memperhatikan itu semua dari depan ruang ganti khusus laki-laki, di lantai dua. Sepasang mata yang sejak kejadian hari itu merasakan rasa bersalah tiada tara, terutama ketika memorinya dipaksa untuk mengingat raut takut yang ditampilkan Hanifa. Tapi emosinya selalu berkobar setiap kali teringat pemuda kurus itu datang dengan sosok pahlawan kesiangan untuk membela gadisnya.
Pelan, Wangsa mengepalkan jemari kanannya dengan geram luar biasa. Detik selanjutnya, tanpa dinyana, Zaid memutar pandangannya, sebab entah kenapa tiba-tiba dia merasa diawasi. Dari kejauhan, meski tidak dibantu kacamata untuk menjernihkan penglihatannya, Zaid bisa melihat dengan jelas bahwa pemuda yang menghajarnya hari itu kini tengah melihatnya dengan saksama.
Tapi Zaid tidak takut semisal pemuda itu kembali menghajarnya. Asalkan Hanifa tidak diganggu, Zaid tidak ada masalah akan itu.
"Woi, Id, ngelihatin apaan dah?" tanya Ali yang memang tidak bisa melihat dengan baik jika tidak mengenakan kacamata. "Buruan balik!"
Menoleh, Zaid mengangguk. Dia melirik sekilas ke bagian depan ruang ganti khusus laki-laki di lantai dua, dan masih menemukan Wangsa menatapnya lekat-lekat. Mengulas senyum sekadarnya, Zaid mundur sebelum akhirnya berbalik dan menyusul Ali.
Wangsa harus tahu, pikir Zaid, bahwa dirinya sama sekali tidak menyimpan dendam atau bahkan hanya sekadar benci.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our Lives
SpiritualSeason One Apa aja sih yang terjadi di masa-masa SMP dan SMU yang menyenangkan?