151. Sesabar Itu

1.1K 243 49
                                    


Serial SHALIH SQUAD Jr. – 151. Sesabar Itu

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2018, 28 Desember

Note : Kalau ada typo, mohon diinfo ^^

-::-

Sepiring nasi terlihat oleh sepasang mata Bilal Bin Benjamin. Satu telur mata sapi dan sayur brokoli menghiasi nasi tadi setelah Ummi-nya meletakkannya di sana. Bilal, bocah berusia enam tahun itu melirik ibunya yang kini sibuk mengisi piring milik Nafisa, adik perempuan Bilal yang berusia empat tahun, dengan menu yang sama. Sementara ayah mereka sudah mulai melahap makan pagi dengan bersemangat.

"Baca bismillah, Mas Bil," kata Ummi dengan nada lembut. "Nafisa makannya pakai tangan ka? Nan..."

"Suapin, Ummi," kata Bilal serta merta.

"Mas Bilal sudah besar, suap sendiri ya? Nafisa aja belajar suap sendiri," kata Ummi. "Yuk, mulai dimakan, biar Abi anterin Mas Bilal ke sekolah."

Bilal menggaruk keningnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menyentuh sendok yang ada di tepian piring.

"Kalau aku makan sendiri, nanti lama," Bilal mulai merajuk. "Nanti ditinggal Abi."

"Abi tungguin," ucap Abi pada putra sulungnya, sebelum melihat pada Ummi. "Nanti mau cek kandungan, Mi? Abi insyaaAllah di rumah jam dua."

Bilal melihat orangtuanyanya bergantian.

Ini gimana deh? Jadinya dia makannya gimana? Masa ngga disuapin?

"Suapin," pinta Bilal lagi. Sementara Nafisa mulai makan sampai nasinya berantakan ke lantai.

"Makan sendiri, Mas Bilal," kata Ummi, masih dengan kesabaran. "Hayok, Mas Bilal hebat. Makannya baca bismillah dulu, terus disuap deh..."

Bilal mingkem. Ummi sudah mulai menyantap bagiannya sendiri. Di hadapan Bilal, sepiring nasi itu masih bergeming. Diliriknya lagi Nafisa, masih sibuk makan sampai berantakan.

Sebenarnya, Bilal bukannya ngga bisa makan sendiri. Hanya saja dia malas. Lebih enak disuapin, jadi dia tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga menyendok makanan.

"Aku ngga mau makan," kata Bilal kemudian. Ditariknya kedua tangannya lalu bersedekap, menyandarkan punggung di sandaran kursi.

"Kalau Mas ngga makan, nanti di sekolah lemes lho," kata Ummi lagi. Tapi Bilal tidak peduli. "Ummi cuma bawain bekal buat Mas makan bareng-bareng di sana."

"Suapin, Ummi..." kata Bilal, nyaris menangis.

Ummi melirik Abi yang memberi kode; Udah, suapin aja. Biar cepet.

Tapi sayangnya, Ummi menggelengkan kepala.

"Makan sendiri ya," Ummi mengacungkan jempol. "Mas Bilal hebat."

"Aku aja makan sendili," kata Nafisa, cengengesan dengan nasi di antara giginya.

"Ayuk, dimakan, Mas," Ummi melebarkan senyum dengan alis turun naik. "Abi udah mau habis tuh. Nafisa juga. Hayok, Mas Bilal juara! Subhanallaah..."

Bilal masih tidak mengerti, kenapa Ummi bersikukuh untuk tidak menyuapinya di makan pagi kali ini. Biasanya dia disuapin.

Pelan, Bilal kembali menyentuh sendok makannya.

"Berat, Ummi," kata Bilal kemudian. "Tuh, aku ngga bisa angkat."

Bilal berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat sendoknya, tapi sepertinya sendoknya berubah seberat baja sebab dia tidak bisa mengangkatnya bahkan semilimeter pun.

Abi tertawa melihat akal-akalan putranya.

"Eh, masa Hulk payah gitu? Masa angkat sendok aja ngga bisa?" kata Abi. Tangannya terkepal. "Hayok. anak Abi bisa!"

"Aku mau makan roti aja!" ucap Bilal, melepas kembali sendoknya. Wajahnya menekuk.

Ummi bukannya marah, malah tertawa geli. Sejujurnya Bilal akan makan dengan lahap jika disuapin. Apa pun makanannya, Bilal akan menelannya dengan suka rela. Yang penting disuapin. Sementara Ummi-nya berpikir bahwa ini adalah cara untuk mengajari putranya agar mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri. Dan, ya, memang harus sesabar itu.

Jadi, usai berpandangan dengan Abi, Ummi membaca bismillah lalu mengangkat sendok yang tadi tidak bisa diangkat oleh Bilal.

"Tuh, Ummi aja bisa. Baca bismillaah dulu, Mas... Yuk, anak shalih..."

Bilal makin manyun. "Aku mau roti aja!"

"Terus, makanan yang ini?" tanya Ummi. "Dibuang?"

Bilal mendengus, "Ngga tahu."

"Mas Bilal, tahu ngga, di luar sana banyak yang ngga bisa makan kayak gini," kata Ummi dengan penuh sabar. "Mereka mau loh, duduk di sini, biar bisa makan ini. Kan Mas Bil sering bantuin Ummi sama Abi buat anterin makanan ke mereka kan? Inget ngga, seseneng apa mereka?"

Pelan, sepasang mata Bilal mencuri lihat pada pandangan ibunya yang masih terarah padanya.

"Meleka bilang makasih ya, Mi?" komentar Nafisa.

"Iya, sayang," balas Ummi. "Mereka bilang makasih banyak. Gitu. Sekarang, kita bisa makan enak di sini, di rumah, bareng Abi sama Ummi, bareng Nafisa dan Mas Bilal, itu karunia dari Allah. Kita ngga makan panas-panas di pinggir jalan yang banyak debu. Terus, masa kita ngga mau makan?"

"Hayok, Mas Bilal," suara Abi terdengar. "Abi udah mau selesai nih..."

Bilal mendengus lagi, lalu mengarahkan tangan kanannya ke sendok lagi. Bacaan bismillah terdengar, dan HAP! Sendok terangkat.

Senyuman Ummi dan Abi tercetak begitu melihat sesuap nasi meluncur masuk ke dalam mulut putra sulung mereka.

"Tapi kalau ngga disupain, nanti aku ngga abis makannya," kata Bilal, dengan nasi di dalam mulut. "Aku ngga mau sayurnya. Ngga suka."

"Dicoba dulu, enak deh," kata Ummi.

"Mas Bilal..."

"Apa sih, Abi?" balas Bilal pada ayahnya. "Abi aja nih yang makan sayurnya?"

"Udah tuh," Abi tertawa, memperlihatkan piringnya yang nyaris kosong. "Abis kaaan. Enak kok, Mas."

"Iya, enak, Ummi," kata Nafisa. "Dari Allah ya? Enak..."

Senyum Ummi mengembang, sampai kelihatan gigi. Kepalanya terangguk.

"Iya, Nafisa benar. Dari Allah. Jadi, bilang apa?"

"Hamdulillaah!" jawab Nafisa dengan kedua tangan terangkat.

Sementara Bilal, memasukkan brokoli ke dalam mulutnya dan menelannya cepat-cepat sampai dia tersedak. Dan lalu menangis.

Haduh, anak Abi nih.

[]



[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang