Menghadap hujan aku berteduh dari sore yang makin pekat.
Kilat-kilat putih menjebak langkah mencegah kepulangan yang tak sebaiknya terjadi.Di tengah hujan badai kecil, kesedihan selalu tampak lebih besar.
Aku ingin apa pun selain merindukanmu, selain rasa sakit yang lebih lebat.
Andai kalimat ini sewaktu-waktu dapat menjelma penangkal badai, atau sekadar payung kecil yang menampung air matamu. Perpisahan kita akan lebih baik.Dan kita cukup duduk sambil menghitung gerakan jarum jam yang sentripetal, mengitari putaran yang tak lebih rumit dari alasanmu memilih pergi.
Atau kau saja yang melakukannya, biar aku menahan tawa memperhatikanmu yang terus mencoba menanggalkan satu per satu angka-angka dalam kalender di ruang kerja kita.Kau tak berubah, masih seperti dulu yang amat keras kepala. Dan itu yang membuat aku terlampau sulit melepasmu.
Jika di sini ada jalan lain, atau setidaknya lorong bawah tanah yang gelap, kau tetap akan pergi, kau bahkan sudah tak peduli badai di luar.
Padahal mereka mengabadikan kita, sebagai sisa dari perpisahan yang terlalu sering digagalkan hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingatan yang Betah Mengulang Hadirmu - Dalam Kepala Penuh Disesak Kata ~
PoetryBiarkan catatan ini menjadi jejak tentang rasa yang kini berhasil dihapus jarak dan waktu. Sebab masing-masing kita sudah berada pada titik tanpa perlu berlanjut di paragraf baru. Yaa, dengan satu kata penutup: "selesai". Meski kau tak pernah betul...