Hujan terdengar riuh malam ini. Berlomba memeluk bumi, jatuh dengan pasti. Dan aku pun masih di sini, berjudi dengan hati, atas namamu yang sejak dulu telah terpatri.
Bukan perihal menang atau kalah, sebab cinta bukanlah sebuah permainan. Hanya saja berulang kau membuatku berpikir kesekian kali, untuk terus mengerti dan memahami. Mencintaimu serupa teka-teki, yang setiap fragmennya harus tersusun rapi. Tidak boleh ada celah, meski hanya satu per lima inci.
Kini habis sudah dayaku merangkai segala asa kemarin. Menziarahi kenangan (kita) bersama dengan elegi. Perihal segala bentuk cinta yang dahulu menggema tanpa permisi, kini banyak tanda tanya yang menggantung di ruas otak kiri.
Boleh aku meminta satu hal padamu (lagi)? Ceritakan padaku tentang hari kemarin, saat simpul senyummu masih menjadi yang kutuju. Ketika hangat jemarimu masih memenuhi rongga kosong di antara sela jemariku. Perihal rasa manis yang sempat kau tawarkan, hingga tanpa terasa kau gradasi dengan getir yang memuakkan. Sampai di titik ini, tak jua kujumpai lagi kita yang pernah ada. Aku larut bersama hampa, menikmati luka yang mendera.
Ah, malam ini. Cepatlah berganti dengan mentari esok pagi. Biar aku menghakimi waktu yang membuatku kian meronta, hingga detik ini pun asa ku tetap berbalut rasa.
Bukan lagi tentang kamu
Bukan pula tentang namamu.
Hanya saja, semua (masih) tentang rindu.
Yang meski hanya berujung pada sembilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingatan yang Betah Mengulang Hadirmu - Dalam Kepala Penuh Disesak Kata ~
PoesíaBiarkan catatan ini menjadi jejak tentang rasa yang kini berhasil dihapus jarak dan waktu. Sebab masing-masing kita sudah berada pada titik tanpa perlu berlanjut di paragraf baru. Yaa, dengan satu kata penutup: "selesai". Meski kau tak pernah betul...