Aku ingin menampar wajahmu sekeras-kerasnya. Betapa sakit dan memarnya mungkin tak sebanding dengan rindu yang kamu sebabkan.
Di kotaku rindu melesat lebih cepat. Menyesap ke bawah atap-atap, dimana hujan dijatuhkan dengan khidmat. Barangkali merindukanmu semacam itu. Rindu ialah anak kecil nakal yang tak mau tahu. Aku bisa apa? Membujuknya tenang hanyalah kesia-siaan. Sedangkan pertemuan adalah permen cokelat yang tak henti-henti direngeknya supaya diam. Saat ini juga, aku hanya ingin kamu. Pada sepasang lenganmu aku hendak marah. Mengapa ia tak bisa sesegera mungkin ada ketika aku merasa lelah. Namun merindukanmu aku tak mau seegois itu. Aku hanya ingin kamu. Terlepas dari segala senyumannya, pelukannya, ciumannya, kekesalannya, dan semuanya. Aku rindu. Dan ingin kamu saja.
Mungkin ini terdengar klise, tetapi memang seperti ini adanya. Rindu yang menyulitkan mata terpejam. Sebetulnya tidak begitu. Bukankah rindu itu sederhana? Rasa ingin bertemu-lah yang membuatnya rumit. Dan kamu tahu? Aku hampir setiap malam merumitkan diri sendiri, dengan merindukanmu.
Padahal, setiap hari kita bertemu, setiap hari pula aku menyiksa diri dengan cara yang sama. Aku merasa rindu bukan tentang seberapa lama kita tak bersua. Bahkan ketika kupeluk kamu dengan erat sekali pun, aku masih sering tak menemukanmu.
Ini menyebalkan. Lebih menyebalkan dari kamu terlambat datang menepati pertemuan. Bodohnya, aku tetap memaafkan. Mungkin tepatnya, rindukulah yang selalu memaklumi. Terlebih kamulah, samudra maaf yang tak pernah dahaga.
Bila belati menancap dadaku, maka sakit. Namun, jika kamu tetap mencabutnya, itu pasti lebih nyeri. Tetapi apakah kamu akan berdiam diri dan menikmati aku yang terseok-seok? Tidak mungkin. Dan rindu seperti apa saja. Menjadi apa saja. Menjelma waktu, yang katamu kamu rindu waktu kita sedang di sini, di sana, begini, begitu. Kamu rindu aku, dan waktunya. Tapi untukku, cukup kamu-dan segala kisahnya.
Malam adalah pangkal dari kesunyian-kesunyian yang tak butuh alasan. Sepi dan resah masih karib terbaik. Terkadang, mencemaskanmu sudah menjadi kebutuhanku. Untuk terus bisa menghadirkanmu, aku hanya butuh menghidupkan malam. Menjadikan semeriah mungkin, atau justru senyap yang paling lengang. Sampai mampu kau dengar, tetes-tetes penyesalanku. Ialah, mengapa tak kudekap kamu lebih lama, atau bila mungkin tak perlu kulepas saja. Agar tidak pernah ada, raung-raung yang meneriakkan namamu lagi, di dada ini. Sebab tak pernah ada jatuh cinta tanpa menanggung rindu setelahnya.
Aku menulis ini tidak lebih hanya untuk mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu, dan sekiranya kau baik-baik saja, entah mengapa aku tak ingin kau kenapa-kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingatan yang Betah Mengulang Hadirmu - Dalam Kepala Penuh Disesak Kata ~
PoesíaBiarkan catatan ini menjadi jejak tentang rasa yang kini berhasil dihapus jarak dan waktu. Sebab masing-masing kita sudah berada pada titik tanpa perlu berlanjut di paragraf baru. Yaa, dengan satu kata penutup: "selesai". Meski kau tak pernah betul...