Masih berkalungkan penyesalan, aku berusaha membakar timbunan-timbunan kenangan yang beranak pinak. Kenangan yang nampak usang dan menguning pada sisi-sisinya. Harapku, setelah semua terbakar, aku menjadi lupa akan luka kehilangan.Akan tetapi kenangan itu seumpama kayu, walau terbakar bara tetap saja meninggalkan arang.
Pagi yang sama seperti pagi tiga purnama yang lalu, kali inipun masih kutemukan memori tentangmu diantara riuhnya embun yang berebut mencari perhatian mentari, dengan kisah tentang kita yang sudah berubah letak perannya. Kisah sang pecinta tanpa dicinta.Kau dan aku kini berjarak sejauh matahai dengan Pluto, sejauh cakrawala dengan bumi yang kita pijak bersamaan.
Aku menitipkam harapan pada sayap-sayap malam, agar waktu di senja yang menghitam itu bisa kembali. Walau berjelaga, tapi penuh semiotika yang mengurai ingatan bahwa kamu dan aku pernah melebur menjadi KITA.
Tanya besar kerap mencuat ketika kesepian hadir, “Mengapa derap sang waktu selalu menjadi hakim agung pada sebuah kisah, sehingga tidak pernah ada sekalipun pilihan tersedia..”
Bisikku pada semesta “Malam tetaplah pekat, biarkan aku berada lebih lama dipelukkan kekasihku, karena disanalah senyumku terkembang tak berjeda”Aku pun terlelap, dengan sebuah rasa percaya bahwa mimpi bisa di bangun di atas sebuah mimpi.
Dengan mata basah aku rebah. Ku nikmati lengang dini hari, mengunyah perih kehilanganmu.
Dan pertanyaan yang berasal dari rahim kesepian akan melahirkan bayi-bayi kehampaan.
![](https://img.wattpad.com/cover/128657764-288-k10009.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingatan yang Betah Mengulang Hadirmu - Dalam Kepala Penuh Disesak Kata ~
PoetryBiarkan catatan ini menjadi jejak tentang rasa yang kini berhasil dihapus jarak dan waktu. Sebab masing-masing kita sudah berada pada titik tanpa perlu berlanjut di paragraf baru. Yaa, dengan satu kata penutup: "selesai". Meski kau tak pernah betul...