Love Is Never Blind. ~

20 2 0
                                    

Entah aku yang terlalu bodoh, atau sengaja membutakan diri atas nama cinta.

Sebagian mereka yang menyadari perihal perasaanku padamu, selalu mengatakan tentangmu-yang menurutku-seakan-aka­n itu merendahkanmu. Aku tentu kecewa setiap mendengarnya. Aku selalu merasa tak cuma kamu yang direndahkan.

Bukankah kamu sepakat jika hidup tak melulu layaknya mengarung laut dalam arus yang sejalan? Mata angin pun menegaskan bahwa utara tak sama halnya dengan selatan. Persimpangan mengajarkan bila setiap ada kiri mungkin pula ada kanan. Begitu pun kamu. Kamu indah dan mengagumkan dengan caramu. Tersebab aku jatuh cinta, karena kamu menjelma dirimu apa adanya.

Sebab itu aku ingin bertanya, apakah aku yang terlalu bodoh, atau sengaja membutakan diri? Kurasa tidak. Kamu tidak seburuk yang mereka pikir, tetapi jauh lebih buruk dari itu.

Sebuah tanya berikutnya, apakah aku terlalu bodoh sehingga mesti memusingkan pendapat orang lain atas hatiku kepada siapa aku jatuh cinta? Dan benar, kurasa aku tak sebodoh itu, melainkan lebih bodoh. Peduli apa orang-orang atas aku, kamu, dan perasaanku yang jika patah aku tak yakin mereka dapat mengutuhkannya kembali.
Sebab itu aku hanya ingin memprasastikan kisah ini sebagai aku dan kamu. Bukan aku, kamu, dan cercaan mereka.

Aku selalu mensyukuri kekagumanku padamu sebagai cara pandang berbeda, dengan dalih bahwa tak banyak yang bisa memahami sisi kelembutan yang tersembunyi dari kelakuanmu yang memang bangsat. Mungkin aku satu dari sedikit yang mampu menyadari itu.

Seorang teman pernah bertanya padaku; Mengapa aku mencintaimu? Bukankah kamu perempuan berengsek, yang sering menyelingkuhi pria, dan entahlah?
Sungguh, semakin aku merenungkan pertanyaan itu, yang kudapatkan justru aku semakin mencintaimu. Entahlah. Namun aku mesti menjawabnya, dengan sederet kalimat yang sudah aku siapkan. Sebab aku yakin setelah mereka tahu aku mencintaimu, pasti akan banyak kuterima pertanyaan bodoh semacam ini. Dan ia hanya kujawab dengan sebaris tanya pula, kurang lebih seperti ini: Pernahkah kamu jatuh cinta? Butuhkah alasan?

Sudahlah.. Sebenarnya aku enggan jika harus melibatkan mereka dalam tulisan ini, aku hanya ingin menuliskan aku dan kamu. Aku dan semua kelembutan hatimu. Aku dan segala keberengsekanmu.
Andai kamu berkenan menyelam ke dasar hatiku sebentar saja, tentu kamu percaya betapa aku jatuh cintanya dengan lekuk senyummu.
Kiranya kamu mau meluangkan sedikit waktumu, berenanglah di nadi yang mendenyutkan namamu ini. Dan temukan aku di sepanjang pembuluhnya tengah berdebar-debar, dengan kamu sebagai alasannya.
Ingatlah, pernah ada masa di saat pertama aku merasa sangat jatuh cinta dengan caramu menatapku, di bola mata yang hangat itu aku menemukan diriku berenang-renang. Aku bahagia.

Terang sudah, bahwa mencintaimu aku hanya butuh keluasan hati, dan kamu-tentu saja.
Dan bukankah sudah atau bahkan berkali-kali aku jelaskan? Bahwa kamu tetaplah kamu yang aku cintai, sekalipun tentangmu menjadi baik atau buruk di dalam omongan mereka.

Kepadamu mataku buta, tetapi tidak halnya dengan cinta.

Ingatan yang Betah Mengulang Hadirmu - Dalam Kepala Penuh Disesak Kata ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang