AL-10. Gantungan Kunci

34.1K 2.4K 34
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian surprise ulang tahun Rayhan yang gagal. Orang-orang mulai melupakan kejadian tersebut, termasuk Nadin. Gita juga sudah mulai memunguti kembali kepingan hatinya yang patah. Ia tak pantang menyerah untuk mendekati Rayhan.

Pagi ini, Nadin bangun seperti biasa. Ia mematikan alarm handphone yang berbunyi nyaring, lantas terseok-seok bangun dan berwudhu.

Saat hendak membangunkan Rayhan, Nadin terkejut menyadari Rayhan sudah bangun. Bahkan sudah rapi dengan sajadahnya.

Nadin harus menahan senyumnya agar tidak terlihat terlalu senang. Ia pura-pura cuek, menata hatinya agar biasa saja.

Alhamdulillah.. harus kasih tau Tante Rina! Batinnya senang.

Ia melangkah dengan hati ringan, tak bisa menahan lisannya yang bersenandung pelan. Hati manusia memang tak sekeras batu, maka hidayah akan mudah hinggap, atas seizin Allah. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha menasehati dan mendoakan, selebihnya Allah yang menggerakkan hati. Maka dari itu Nadin tak pernah berhenti berharap, Rayhan akan menjadi laki-laki shalih yang paham agama suatu saat nanti.

***

Nadin sampai di gerbang sekolah tepat waktu, 15 menit sebelum bel berbunyi. Ia jarang berangkat pagi, karena angkot yang ia naiki juga tidak tentu sampai di sekolah tepat waktu. Itulah derita naik kendaraan umum untuk ke sekolah, mau sepagi apapun kita menunggu, tapi tetap saja supirnyalah yang menentukan.

Halaman sekolah telah penuh dengan siswa berseragam putih abu. Tampak beberapa bergerombol mengobrol, membicarakan tugas yang belum selesai atau nilai ulangan harian kemarin.

"Nadin!"

Ia menoleh ke arah sumber suara. Aina yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki, melambaikan tangannya di gerbang.

"Ain!"

Nadin tersenyum. Jarang-jarang Aina bisa berbicara lantang di depan banyak orang, apalagi memanggilnya dengan suara keras seperti tadi.

Namun sebelum Nadin berbicara pada Aina, ada suara lain yang menyelanya.

"Eh, Si Udik manggil temennya sesama udik!"

Nadin menoleh pada orang itu, Gita.

Teman-teman Gita tergelak dengan leluconnya, kecuali Anes dan Kira yang tampak sungkan kepada Nadin semenjak kejadian ketahuannya mereka.

Aina menunduk, ia malu menjadi pusat perhatian. Terlebih, teman dekatnya ikut menjadi bahan ejekan karena dirinya. Gita memang sudah berhenti menyerangnya secara langsung sejak kejadian dengan Zaki waktu lalu, namun ia masih menampakkan sikap tak bersahabat padanya. Bahkan Aina punya julukan baru, Si Udik.

"Apaan sih, Git. Kayak kabel putus aja, nyambung-nyambung," ucap Nadin nyeleneh. Entah dapat keberanian dari mana, ia bisa menjawab Gita. Mungkin kenekatan Fita sudah menular padanya.

Beberapa siswa yang menonton tertawa karena Nadin. Bukan karena ucapannya lucu, namun melihat wajah dongkol Gita, siapapun juga akan tertawa.

"Yuk, Ain! Masuk!"

Nadin menggandeng Aina menjauh, meninggalkan Gita yang terlihat kesal. Mereka segera menuju kelas, memutuskan tak peduli pada ejekan Gita.

"Dia juga berani sama gue? Oke.. oke," ucap Gita penuh penekanan, memandang Nadin yang berjalan menjauh.

***

Istirahat siang ini, Gita pergi ke kelas Rayhan. Ketika ditanya oleh ketua kelas di kelas Rayhan, ia beralasan ingin mengembalikan barang kepada Rayhan. Padahal sebenarnya, Rayhan tidak pernah meminjaminya apapun.

AfterlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang