AL-26. Tears

25.5K 1.8K 20
                                        

Disarankan untuk membaca part sebelumnya supaya tidak lupa jalan cerita :)

***

Nadin tak habis pikir, bagaimana mungkin Gita mengira dirinya adalah saudara Rayhan. Padahal seingatnya, ia tak pernah berinteraksi lebih dengan Rayhan di sekolah.

Baginya, "Kak Ray" di sekolah dan "Kak Rayhan" di rumah adalah sosok yang berbeda. Ia harus membedakan sikap kepada Rayhan. Sebab, ia tahu, tak mudah bagi Rayhan meninggalkan kawan-kawannya yang selama ini menemani dirinya.

Nadin mendesah berat, lantas Fita mengikuti. Mereka sedang duduk di kelas dan jam pelajaran sedang kosong. What a free time.

"Kok bisa pelik gini, sih?" Fita bertanya. Nadin menggeleng tak tahu.

"Kalau udah sampai Gita tau, bisa gawat. Dia kan obsesi berat sama Kak Ray."

Rania menutup buku yang sedang ia baca, lantas berpindah duduk ke samping Nadin.
"Menurutku, itu nggak perlu dibahas. Yang sekarang harus kamu pikirin, Na, gimana caranya jelasin ke Gita? Dan ke orang-orang yang hampir tau kayak Kak Anton, sampai Haikal?"

Fita berdeham pelan mendengar Rania menyebut nama Haikal. Ia tersenyum iseng.

"Apasih Fita, ini lagi serius!"

Nadin mengangguk pelan. Ia menarik nafas lagi, menyuarakan kepenatan hatinya. Ia harus apa pada Gita? Harus bagaimana ia bersikap?

***

Di sudut lain sekolah, Gita tengah membolos pelajaran bersama Lala. Keduanya tengah serius menatap layar handphone, berpikir.

Gita masih penasaran soal hubungan Nadin-Rayhan. Apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka? Kenapa Rayhan bilang mereka bukan saudara? Dan ia juga tak menyangka akan mendapat respon dari Kak Ray yang seperti itu.

"Beberapa hal nggak harus lo tau. Ada banyak yang lebih baik lo nggak tau sekarang, tapi nanti ada saatnya."

Maksudnya? Ia benar-benar dibuat mati kutu.

"Kesel, gue. Usaha gue selama ini buat ndeketin Nadin sia-sia, dong,"

Lala menyeruput es teh yang ia pesan di kantin tadi dengan hati kesal. Ia sudah merelakan dirinya bolos hanya untuk mendengarkan curhatan Gita.

"Mana gue tau,"

"Ngeselin banget sih jawaban lo, La!"

Lala memutar bola mata. "Yaudah, lo tanya sendiri aja sama Nadin. Dia nggak akan mungkin bisa bohong, kan,"

"Bener juga ya, lo." Gita memasang senyum, sebuah ide terpikir di kepalanya.

***

"Nadin!"

Sebuah suara memanggil, membuat Nadin menoleh ke arah suara. Ia sejenak melupakan datangnya angkot yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.

"Gita?" Nadin mencelus. Ia belum siap bertemu dengannya sekarang. Ia masih belum bisa memberikan alasan.

Gita melangkah mendekati Nadin, duduk di samping dan meletakkan tas di atas kursi halte yang saat ini sedang mereka tempati. Ia memasang senyum, membuat Nadin juga ikut tersenyum walau di hatinya tersimpan sedikit suudzan.

"Mau pulang, ya?"

Nadin mengangguk.

"Mau aku anterin pulang lagi?"

"Eh, nggak usah. Aku naik angkot aja,"

"Aku pengin main ke rumah kamu, boleh?" Gita mulai memancing dengan pertanyaan yang sudah ia siapkan.

Nadin meneguk ludah. "Iya.. boleh,"

Gita tersenyum. Sudah seperti yang ia duga, Nadin tidak pernah berkata tidak.

Satu pertanyaan pamungkas.

"Kak Ray lagi di rumah kamu, nggak?"

..

Dan Nadin tak bisa menjawab.

Gita tersenyum sinis. Tatapan penuh keramahannya hilang.

"Gak bisa jawab kan, lo?"

Udara terasa memanas di sekeliling mereka berdua.
Nadin meremas jari tangan, menarik ujung baju. Ia menahan nafas.

"Aku.."

"Apa hubungan lo sama Kak Ray sebenernya? Jawab, Nadin. Lo nggak bisa menghindar."

"Ka, kamu tau dari mana Kak Rayhan ada di rumahku? Mungkin kamu salah liat," Nadin berusaha meredam nafasnya yang memburu. Ia menemukan jawaban yang sedikit bisa membantunya.

Gita tertawa. Emosinya memuncak. "Nggak usah sok polos!" Ia berdiri, mengundang perhatian orang di halte lainnya.

"Jawab! Hubungan kalian apa?!" Gita mengguncang bahu Nadin, membuat Nadin terguncang tak hanya bahunya, namun juga hatinya. Seisi halte memlerhatikan mereka.

"Jawab gue! Jawab, Nadin!"

"Jawab gue, plis.. jawab," Gita berhenti. Jatuh terduduk. Emosinya berada di ujung, ia menangis.

Betapa, ia tak menyadari. Sejauh apapun ia meraih, Rayhan tak pernah berada dalam jangkauannya. Sebesar apapun perasaannya, ia tak pernah bisa mendapat tempat di hati orang yang ia sukai itu.

Rayhan adalah satu-satunya orang yang peduli ketika kakaknya berusaha bunuh diri. Rayhan adalah satu-satunya orang yang peduli ketika kakaknya masuk penjara dan tempat rehabilitasi. Rayhan adalah satu-satunya orang yang peduli, ketika ia sendirian. Itulah yang membuatnya memilih Rayhan dibanding Zaki, yang datang belakangan.

Tapi kenapa, sekarang Rayhan tak pernah peduli lagi? Ia tak pernah peduli seperti dulu. Bahkan ia tak pernah mendapat senyum yang sama, seperti senyumnya pada Nadin malam itu.

Nadin tertegun menatap Gita yang menangis. Orang-orang di halte bwrkerumun, menatap mereka heran. Nadin menyeka air matanya sendiri, lantas ikut duduk di samping Gita.

"Aku mohon jangan nangis..,"

Hatinya terenyuh. Se-berartikah itu Kak Rayhan bagi Gita?

Gita mengangkat wajah, menatap Nadin. Matanya berkilat.

"Gue nggak ngerti hubungan kalian apa.
Tapi, satu hal yang gue tau."

Nadin menatap mata yang indah namun tersembunyi kepedihan itu. Raut wajah Gita mengeras.

Satu kata terakhir dari Gita membuat Nadin tertegun..

... "Gue benci sama lo."

****

Bersambung.

AfterlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang