Selepas kepergian Gita dan Lala, Nadin dan Aina segera masuk ke rumah. Mereka tak tahu apa yang terjadi pada Gita. mungkin jika mereka tahu, mereka akan merasa bersalah dan simpati. Karena nyatanya, orangtua sangat berperan terhadap kondisi psikis, termasuk sifat anak. Jika pengasuhannya baik, maka anak akan terdidik menjadi pribadi yang baik. Jika orangtua gagal mendidik, maka akan menghancurkan masa depan anak itu sendiri.
Lampu rumah menyala seketika saat Nadin menekan saklar. Ruangan yang semula gelap menjadi terang, membuat Aina leluasa memandangi seisi rumah. Rumah ini sebetulnya tak terlalu mewah, namun tampak cantik dan rapi. Aina yakin, Nadin rajin membereskan rumah. Jika dibandingkan dengan rumahnya, rumah Nadin berpuluh kali lebih baik.
Mayoritas dinding dalam rumah dicat dengan warna abu-abu, namun ada beberapa spot yang dicat dengan warna biru langit. Ruang tamu tampak nyaman dengan perabotan yang sederhana namun kokoh. Di pojok ruangan, terdapat tanaman hijau yang tumbuh subur, membuat kesan lega dan alami. Tidak ada pigura foto, hanya ada lukisan kaligrafi yang tergantung di dinding.
Masuk ke dalam, Aina dibuat takjub dengan suasana ruang televisi yang nyaman dan hangat. Ruangan berbentuk persegi panjang ini dilapisi karepet beludru berwarna coklat. Di kiri ruangan, terdapat sebuah televisi besar yang dilengkapi dengan sofa di depannya. Ia yakin, pasti Nadin sering menonton tv atau belajar di sofa empuk itu.
Di sudut dekat tv, terletak sebuah lemari buku yang tersusun rapi. Di sampingnya, ada beberapa hiasan seperti miniatur menara Eiffel da vas bunga yang dipajang di rak kecil.
Ruangan luas ini menyatu dengan ruang makan dan dapur. Dari depan tv, Aina dapat melihat Nadin yang tengah menyiapkan minuman untuknya. Dan di samping dapur, ada sebuah tangga yang tersekat oleh dinding untuk menuju ke lantai atas. Aina yakin, kamar tidur Nadin terletak di lantai kedua itu.
"Maaf ya, lama," Nadin menaruh camilan ke meja di depan sofa. Aina yang baru selesai melihat-lihat langsung tertarik untuk menanyai Nadin tentang rumahnya. Nadin bilang, ia tinggal sendiri. Jadi ia heran bagaimana caranya Nadin merawat rumah ini sendirian.
"Aku memang nggak ada pembantu, Ain. Jadi aku bersihin dan masak sendiri. Tapi biasanya seminggu sekali Tante Rina ngirim orang buat bersihin rumah saat aku lagi sekolah," jawabnya. Dan rasa penasaran Aina terjawab sudah. Padahal ia tidak tahu, Nadin sedang merasa bersalah karena ia berbohong sedikit tentang tinggal sendirian. Namun mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan lain.
"Kita ke TPQ sebentar lagi, ngajar sehabis maghrib sampai isya. Nggak papa, kan?"
Aina mengangguk. Ia penasaran dengan keseharian Nadin yang sepertinya amat padat namun bermakna.
"Aku dulu ngajar setiap hari, tapi sekarang jadi seminggu cuma tiga kali. Hehe," jelas Nadin. "Sekarang lumayan sibuk, sih,"
Keduanya lantas membersihkan diri, bersiap menuju mushala yang berjarak dua ratus meter dari rumah Nadin. Mereka menyongsong senja, beriringan untuk mengajarkan agama kepada anak-anak kecil, suatu hal yang nampak sederhana namun bermakna luar biasa.
***
Aina tampak menikmati perannya menjadi Ustadzah baru di TPQ mushala ini. Ia banyak tertawa, lupa bahwa dirinya sering susah bicara pada orang lain. Sedari tadi, ia ramai sekali berbincang dengan anak-anak ngaji, menceritakan kisah sahabat nabi.
Nadin memandanginya dari ujung ruangan dengan tersenyum. Ia lega melihat Aina bisa tertawa lepas, tak melulu tertekan dengan pandangan orang lain. Ia memang sengaja mengajak Aina mencoba mengajar mengaji untuk menambah kepercayaan dirinya. Kalau Fita dan Rania sih, tidak usah. Mereka malah sudah over pede.
Awalnya, Nadin mengajar TPQ karena ia ingin berkontribusi di masyarakat, dan hanya ini yang bisa ia lakukan sekarang. Nadin mulai mengajar beberapa saat setelah pindah ke daerah rumahnya sekarang. Berkat Tante Rina, ia dapat beradaptasi dengan baik. Oh iya, jika kalian bertanya-tanya apakah warga sekitar mengetahui hubungan Nadin, maka jawabannya adalah tidak. Hanya Pak RT di wilayah itu yang mengetahui rahasia tersebut.
Setelah shalat isya berakhir, keduanya segera pulang ke rumah Nadin. Mereka berpamitan pada anak-anak TPQ, dan Aina berjanji akan mampir lagi kapan-kapan. Aina memutuskan untuk menginap di rumah Nadin, karena Nadin memaksa. Besok pagi, mungkin saja ia akan naik ojek online untuk mengambil seragam di rumah.
Nadin dan Aina menonton tv sambil mengobrol santai setelah selesai mengajar ngaji. Karena besok tidak ada tugas, mereka sangat santai mengobrol. Saking santainya, Nadin dan Aina tidak menyadari bahwa pintu depan terbuka, menampakkan batang hidung seseorang.
Suara televisi yang nyaring kalah oleh obrolan mereka. Hingga tiba-tiba, sebuah suara memotong pembicaraan.
"Assalamualaykum,"
Keduanya menoleh cepat, lalu sama-sama terperanjat.
"Wa, wa.. waalaykumussalam..,"
Aina dengan kebingungannya yang bertanya-tanya, untuk apa Kak Rayhan malam-malam ke rumah Nadin dan langsung masuk, padahal sepertinya pintu depan sudah mereka kunci. Dan Nadin, dengan keterkejutannya, katanya Rayhan akan menginap di rumah teman dan tidak akan pulang malam ini, lalu kenapa sekarang muncul tiba-tiba saat Aina sedang bersamanya.
"Kak.. Rayhan.. udah pulang?" Nadin bertanya takut-takut, menatap wajah cengo Aina. Untung saja Aina masih mengenakan jilbab lengkapnya.
"Iya. Ini temen kamu?
"Anu.. iya. Aina."
"Oh. Kenalin, Aina. Saya suaminya Nadin."
***
Bersambung.
Assalamualaykum teman2.. maaffff banget updatenya lama ya :( kesibukan lagi banyak banget.. tapi udah aku up 2 chapter langsung nih hehe, sebagai permintaan maaf. yaa walaupun yang satu pendek :) gapapa ya.. semoga kalian masih setia menunggu. luv youuu
Barakallahu fiikum <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...