Suasana di lorong ini hening, lengkap dengan bebauan obat yang mengambang di udara. Beberapa perawat berlalu lalang, melintas melewati pintu ruangan UGD yang terbuka. Sinar matahari keemasan masuk melalui celah jendela. Pudar, pertanda cahanyanya sebentar lagi akan turun dari persinggahan siang.
Nadin melangkah menjauhi keramaian. Ia kemudian terduduk di salah satu bangku panjang, di ujung lorong rumah sakit.
Matanya terpejam, merasakan hembusan angin dingin dari AC di lorong dingin ini. Sebentar saja,ia ingin menjauh dari kebisingan. Sebentar saja, Nadin ingin merasa tenang dan aman.
Berdzikir, Nadin.
Kata hatinya membisiki. Ia tersenyum.
Selalu ada Allah yang menolongnya. Selalu, Allah memberikan janji untuk hamba-Nya.
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang."(Ar-ra'ad:28)
Ia tersenyum, hatinya masih menyebut asma Allah. pokoknya dzikir saja! Supaya hati menjadi tenang, menjadi lebih kuat.
Nadin menghela nafas. Ia memandang keluar, hari sudah mulai malam. Ini adalah senja paling menyakitkan yang pernah ia rasakan. Badannya sakit, terlebih hatinya. Dan kini ia sendiran di lorong rumah sakit ini, setelah melewati hari yang panjang.
Ia bertanya-tanya, kira-kira di manakah handphone miliknya yang diambil saat ia diculik tadi siang? Ia jadi tak bisa menghubungi teman-temannya. Dan ia tak bisa menghubungi Tante Rina.
Haha, Nadin menertawai dirinya sendiri. Sudah besar, masa diculik? Lucu sekali.
Ia menatap sekitar. Sungguh sepi, dan ia merasa ingatan tadi siang kembali ke pikirannya. Saat dirinya tersedu di pojok ruangan, sepi dan gelap. Bayangan akan darah menghantuinya. Saat Rayhan datang, dan terluka karenanya.
Hatinya kelu, mengingat luka lebam pada wajah Rayhan, dan darah di baju seragamnya. Kali ini darah itu sungguhan, bukan hanya bercanda seperti waktu lalu saat ia berpura-pura terjatuh di depan pintu rumah. Ia menangis dalam diam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Rayhan yang memeluknya juga tak berkata-kata. Mereka berdua bergelut dengan hati yang retak dan raga yang luka.
Nadin mencoba tersenyum. Pokoknya ia tersenyum saja. pokoknya ia berdzikir saja.
Pernahkah kalian ada dalam satu keadaan, saat segalanya terasa mengabur? Ketika segalanya tampak rapuh, patah.
Saat itu, senyum akan menjadi penguat. Dzikir akan menjadi penolong. Dan iman, akan menjadi satu-satunya harapan.
Nadin hanya ingin tersenyum sekarang. Terlepas dari hatinya yang sakit, syok, dan tak menyangka, ia hanya ingin tersenyum saja kini.
Ingatannya lalu menuju kembali pada umpatan dan cacian yang didapatkan dari anak SMA sebelah tadi siang. Juga pada perkataan mereka.
"Lo nggak tau Ray yang sebenarnya. Dia bisa aja baik di mata lo, tapi di belakang, dia beda dari yang lo bayangkan."
Nadin menarik nafas panjang.
Dunia seperti apa yang Rayhan miliki di luar sana? Bukankah kini dunia mereka harusnya menjadi sama?
"Lo kira dia berubah? Seorang penjahat akan tetap murni dengan darah jahatnya."
Ia mendongakkan kepala ke langit-langit plafon. Pikirannya tenggelam pada satu nama,
Rayhan.
Kak Rayhan sudah benar berubah, bukan? Ia sudah menjadi lebih baik, kan?
Imam shalat tahajjudnya, pasti tidak akan melakukan seperti yang mereka tuduhkan, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...