Alunan murattal menghiasi pagi hari di rumah Rayhan yang sepi. Jarum jam berdetik pelan, angkanya menunjukkan pukul lima pagi. Nampak si empunya rumah sedang duduk bersila di sofa dengan buku di tangan.
Sepi, sendiri, dan dingin. Rayhan mengasihani dirinya sendiri sembari menggosok-gosok tangan. Sesudah shalat tahajjud, ia melanjutkan pagi dengan belajar. Ia baru saja pulang dari masjid untuk shalat subuh jamaah, lalu kini melanjutkan belajar lagi.
Hari ini sudah menginjak tiga minggu setelah Nadin pergi. UN sudah dekat, dan Rayhan masih dalam proses belajar. Ia tidak mau ketinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih siap. Ia memang pintar, tapi tak boleh hanya mengandalkan otak saja. Ia harus berusaha.
Pikirannya mengelana ke kota seberang.
Sedang apa Nadin sekarang? Apa ia sudah bangun?
Ah, pasti sudah. Pasti ia sedang memasak di dapur.
Pikiran-pikiran tentang Nadin menyelimuti hatinya. Rayhan menatap buku pelajaran dengan tatapan hambar.
Kemarin, ia sudah rutin belajar bersama Yanuar. Mengkaji Alquran, membaca kitab fiqih. Dan menemukan banyak hikmah yang tersimpan. Pikirannya kini jauh lebih terbuka.
Rayhan tak sabar untuk melanjutkan belajarnya hari ini. Dan ia juga tak sabar mengajak Nadin berdiskusi, menjawab persoalan-persoalan ummat. Tapi.. Nadin sudah tidak di sini.
Ia ditampar kenyataan.
Rayhan menghela nafas. Ia lalu bangkit dan beranjak dari duduk, menuju dapur yang sudah sangat jarang dipakai sejak Nadin pergi. Ia hendak memasak mie instan lagi.
***
"Kak Ray!!" Gita menyambutnya di depan pintu kelas saat ia sampai di sekolah. Gadis itu ikut masuk ke dalam, acuh tak acuh pada pandangan risi seisi kelasnya.
Rayhan sudah bukan risih lagi. Sudah muak malahan. Ia dengan kasar menepis tangan Gita yang hendak menggandeng lengannya, membuat gadis itu merengut.
Rayhan duduk di bangkunya sembari mengeluarkan buku dari dalam tas. Gita ikut duduk di kursi sebelahnya yang kosong. Gadis itu menyodorkan sekotak susu untuk Rayhan. "Gita bawain susu.. biar semangat belajarnya," ujarnya semringah. Teman-teman Rayhan di belakang menyoraki heboh.
Rayhan menoleh, menatapnya datar. Ia sungguh sudah lelah pada semua ini.
"Bisa nggak, lo jauhin gue?" Rayhan mengatakan hal itu dengan tekanan yang mengambang di udara. Atmosfer di kelilingnya mendadak panas.
"Apa?" Gita mengernyit.
Teman-teman Rayhan di belakang terdiam, sudah tak bisa bersorak sorai lagi.
"Kak Ray lagi bad mood, ya?" Gita mencoba mencairkan suasana kembali. Wajahnya pucat pasi.
Rayhan kembali menatapnya datar. "Iya, karena lo. Jadi sekarang lo mending pergi dari sini,"
Gita menatap Ray tak percaya. Sekejam-kejamnya Ray padanya, Ray tak pernah berbicara seperti itu selama ini.
"Kak Ray kok gitu siih..," ia memegang tangan Rayhan dan merajuk.
Rayhan refleks segera menjauhkan tangan Gita darinya. Ia menepis tangan itu, lebih kasar dari saat pertama tadi hingga Gita hampir terjatuh dari tempat duduknya.
"Aww!" Gita yang lebay mulai mendaramatisir.
"Ray!!" Anton, yang sedari tadi hanya diam kini angkat bicara melihat adiknya (pura-pura) kesakitan. Ia merangsek maju ke samping tempat duduk Rayhan, meraih kerah baju temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualitéBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...