Nadin tengah berjongkok di depan sebuah makam yang rimbun. Makam itu sederhana saja, hanya berupa undukan tanah dengan nisan kayu. Namun sekelilingnya rapi dan bersih, beberapa dahan pohon yang memanjang juga tampak habis dipangkas. Memang setiap minggu ada orang yang diperintahkan oleh Tante Rina untuk membersihkan makam ini.
Gadis itu mengusap nisan dan membersihkannya dari debu.
"Ibu, maaf ya.. Nadin baru bisa kesini sekarang,"
Matanya berkaca-kaca. "Sudah lama ya, Bu.. Nadin gak ke makam ibu."
Terakhir kali ia menjenguk makam ibunya adalah ketika ia hendak menikah.
Ia menunduk, menaburkan kelopak-kelopak mawar. Lantas Nadin berdoa, memanjatkan alfatihah dan doa mayit untuk ibunya.
Gadis itu berceloteh, "Bu, Nadin sekarang pindah ke rumah Bude. Nadin punya banyak temen di sini.
Tapi Nadin kangen temen-temen Nadin.. ada Fita, Rania, Aina, dan yang lainnya juga. Trus.. Nadin juga kangen Kak Rayhan,"
Matanya makin berkaca-kaca.
"Bu, jatuh cinta rasanya kayak gini, ya? Kenapa rasanya sakit?
Apa karena kita belum dewasa?"
Ia menghela nafas pelan.
"Nadin merasa belum bisa jadi yang terbaik.."
Hanya suara kesiur angin dan daun-daun yang jatuh yang membalas ucapan Nadin. Gadis itu menatap nisan ibunya lama.
Beberapa menit kemudian, Laila yang menunggunya dari balik pagar pekuburan memanggilnya.
"Mba Nadin, udah sore. Pulang, yuk?"
Nadin bangkit. "Ayuk,"
Sudah cukup hari ini. Ia lalu mengusap nisan ibunya untuk yang terakhir kali. "Besok Nadin dateng lagi, Bu,"
Gadis itu menggamit tangan Laila, pulang.
Sudah dua minggu ini ia berada di desa ibunya, baru sekarang ia berani untuk menuju makam ibunya. Nadin harus mengumpulkan keberanian agar tidak menangis banyak-banyak di makam.
Ibunya meninggalkannya di usia yang masih kecil, namun kini Nadin lebih dari sekadar mengerti tentang kematian. Bahwa seseorang yang pergi karena kematian itu, tidak akan pernah kembali lagi.
Ia sudah kehilangan dua orang. Ayahnya, yang sedari kecil tidak pernah ia lihat, dan ibunya yang meninggal karena sakit.
Nadin sudah biasa ditinggalkan. Rasanya menyakitkan.
Kini, ia meninggalkan Rayhan.
Apa rasanya juga sedih saat aku pergi, Kak?
***
Ada Nadin. Gadis itu berdiri di hadapannya dengan wajah bersinar, senyumnya berbinar. Rayhan menatap tak percaya.
"Kamu..,"
Nadin di hadapannya tertawa. Wajah yang sangat ia rindukan itu tersenyum manis, membuat Rayhan ikut tersenyum.
"Kak Rayhan apa kabar?"
Rayhan masih menatap Nadin tanpa berkedip. Namun ia tak bisa bergerak mendekat, tubuhnya terasa kelu.
"Kak Rayhan masih selalu shalat di masjid, kan?"
Rayhan terdiam menatap gadis itu.
"Kak Rayhan masih shalat tahajjud, kan?"
Ia tak bisa menjawab.
"Kak Rayhan, kok bengong? Kak Rayhan mau imamin aku shalat tahajjud, kan?"
"Kak Rayhan.."
"Kak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...